Jumat, 19 Agustus 2011

Resume Skripsi

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG PLURALISME

RESUME SKRIPSI 
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Serjana (S-1) Dalam Ilmu Syari’ah Pada Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara-Medan 1432 H / 2011 M Oleh: HENDRA GUNAWAN, SH.I [NIM : 230708428]

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang dengan berkat Rahmat dan karunia Hidayah dari Allah Swt, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PLURALISME, yang merupakan tugas untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Serjana Hukum Islam (SH,I) dalam ilmu Syari’ah Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas atas bantuan dan motivasi oleh pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : [1]-Bapak Dekan Fakultas Syari’ah, yaitu Bapak Dr. M. Jamil, MA, [2]-Bapak Pembantu Dekan I, yaitu Bapak Dr. Saidurrahman, M.Ag, [3]-Ibuk Pembantu Dekan II, yaitu Ibuk Dra. Laila Rohani, M.Hum, [4]-Bapak Pembantu Dekan III, yaitu Bapak Dr. M. Iqbal, MA, [5]-Bapak Dr. H. M. Amar Adly, MA dan Bapak Dr. Maradingin, MA Selaku pembimbing I dan pembimbing II, yang telah meluangkan waktu mereka untuk membaca, menseleksi, memberikan saran perbaikan, mensistematisasi. Dan karena bimbingan merekalah skripsi ini dapat diselesaikan, semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan meluaskan cakrawala pemikiran mereka, [6]-Bapak Pimpinan Perpustakaan, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan penelitian atau memperoleh informasi, [7]-Kepala Jurusan Jinayah Siyasah, yaitu Ibuk Dra. Achiriah, M.Hum yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis, [8]-Penasehat Akademik, yaitu Ibuk Neila Susanti, M.Si yang telah memberikan arahan kepada penulis, [9]-Bapak Ibu Dosen serta seluruh staf pegawai Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, [10]-Sahabat-sahabat yang turut serta mensukseskan perkuliahan penulis sampai selesai, [11]-Pimpinan State Institute For Islamic Studies Norih Sumatera, yaitu Bang Eko Marhaendy, SH.I yang telah banyak memberikan pinjaman buku-buku sebagai refrensi dalam penulisan skripsi ini.
Khusus kepada Ayahanda Ipda Ali Usman Harahap dan Ibunda Hj Zuhriannur serta seluruh keluarga tercinta, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala jasanya kepada penulis. Semoga Allah SWT, membalas budi baik mereka, mengampuninya dan mengarahkan petunjuk-Nya kepada mereka semua.
Kemudian penulis sangat mengharapkan kritikan-kritikan sehat yang konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan penulisan selanjutnya, karena penulis menyadari bahwa skripsi yang disajikan ini masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dari kekurang matangan penulis dalam menganalisa masalah dari bahasan-bahasan yang ada.
Akhirnya penulis menyerahkan diri kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa, karena kepada-Nya juala tempat kembali. Dan semoga tulisan ini berguna bagi pembaca sekalian. Amin. [Medan, 11 April 2011 M / 7 Jumadilawal 1432 H Penulis: Hendra Gunawan]

IKHTISAR
Skripsi ini berjudul Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme. Yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah bagaimana perbedaan pluralisme dikalangan ilmuan, bagaimana latar belakang pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid dan bagaimana hubungan pluralisme dengan tata negara (politik).
Tujuan skripsi ini agar dapat mengetahui perbedaan pendapat dikalangan ilmuan tentang arti pluralisme, latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan juga untuk mengetahui hubungan pluralisme dengan tata negara (politik).
Kegunaan skripsi ini diharapkan nantinya menjadi refrensi bagi mahasiswa untuk penelitian, diharapkan dapat membantu kemajuan ilmu pengetahuan dan  diharapkan juga kita dapat melihat kekurangan atau pun kelebihan dari pluralisme.
Penulis berhipotesis bahwa yang melatar belakangi gagasan pluralisme Abdurrahman Wahid adalah didasarkan pada sebuah keinginannya untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama, yang mengusik keutuhan NKRI.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah study pustaka dimana penulis berupaya mengumpulkan data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam pembahasan ini dari buku-buku hasil pemikiran Abdurrahman Wahid, yang berkaitan dengan pluralisme sebagai sumber primer, seperti Islam ku, Islam anda, dan Islam kita dan juga kitab lain yang berkaitan dengan pluralisme sebagai sumber skunder.
Temuan dalam skripsi ini adalah bahwa latar belakang gagasan pluralisme Abdurrahman Wahid tidak hanya ingin mengikis ‘klaim kebenaran’ (truth claim) saja namun memiliki kaitan dengan tata negara, dimana Abdurrahman Wahid dengan gagasan pluralismenya berkeinginan menciptakan kerukunan umat yang plural guna mempertahankan eksistensi NKRI.
Kesimpulan skripsi ini ialah perbedaan dikalangan ilmuan dalam memahami pluralisme adalah di karenakan berbedanya perspektif para ilmuan dalam memahami pluralisme ada yang memandangnya dalam tataran sikap yang positif terhadap pluralitas sebut saja Abdurrahman Wahid. Namun, ada yang memandangnya lebih dari itu yaitu menyamakan semua agama.
Adapun yang melatar belakangi pluralisme Abdurrahman Wahid adalah didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Karena menurut Abdurrahman Wahid, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama akan sirna bila masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Sebab menurut beliau orang yang memandang ajarannya bersifat absolut, lalu merasa agamanya paling benar sehingga muncul sikap untuk memerangi agama yang lain yang dianggapnya sebagai agama yang salah (sesat).
Abdurrahman Wahid berpikiran bahwa untuk meretas konflik sosial yang bernuansah SARA dalam masyarakat plural sangat diperlukan pluralisme dengan harapan dapat meminimalisir berbagai akses-akses negatif dari pluralitas agama sehingga dapat mendorong terwujudnya negara yang makmur, aman dan sejahtera.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar, Ikhtisar, Daftar Isi.
BAB I PENDAHULUAN, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Batasan Istilah, Kerangka Pemikiran, Hipotesis, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.
BAB II BIOGRAFI CENDIKIAWAN ABDURRAHMAN WAHID, Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan, Aktivitas dan Kegiatan Intelektualnya, Sekilas Tentang Karya-Karyanya.
BAB III TENTANG PLURALISME DAN PERMASALAHANNYA, Perbedaan di Kalangan Ilmuan Tentang Arti Pluralisme, Sejarah, Tujuan, Pluralisme Ditinjau dari Islam, Pluralisme Ditinjau dari Tata Negara.
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG LATAR BELAKANG PLURALISME DAN KAITANNYA DENGAN TATA NEGARA, Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid, Latar Belakang Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Kaitannya dengan Tata Negara.
BAB V PENUTUP, Kesimpulan, Saran.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini masalah pluralisme dan keutuhan negara banyak menyita perhatian kita dan menjadi wacana yang ramai dibicarakan di mana-mana. Pluralisme berasal dari Barat, maksudnya dipelopori dan disebarkan secara meluas di Barat. Dr Muhammad Legenhausen dalam bukunya Islam And Regilious Pluralisme berpendapat bahwa konsep pluralisme bisa dirunut dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang mempelopori gerakan Protestan liberal pada abad ke-19, hal ini tidak bisa dipungkiri dikarenakan determinasi dan persekusi gereja Katolik atas gereja Protestan.
Kemudian datang setelahnya sederet nama pemikir agama dan sejarah kelas dunia yang mendefenisikan isu pluralisme, dan yang terakhir, John Harwood Hick dengan bukunya An Interpretation Of Religion: Humas Responses To The Transcendent dianggap telah berhasil mematangkan konsep pluralisme dalam tataran ilmiah maupun filosofis sehingga mampu menjelma menjadi sebuah wacana pemikiran modern selevel Liberalisme, Sekulerisme, Feminisme dan lain-lain.
Akan tetapi, pluralisme sejatinya sudah muncul sejak zaman lahirnya ajaran Sikh di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu guru Nanak (1469-1538). Ajaran Nanak ini berintikan bahwa semua keyakinan yang ada adalah benar. Bahkan, Parrinder dan Sharpe menganggap bahwa tokoh-tokoh Indialah yang dianggap paling berjasa dalam memperkenalkan pluralisme untuk pertama kalinya pada abad 19, yaitu Rammohan Ray (1772-1833) yang mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama, dan Sri Ramakrishna (1834-1886) yang menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi. Gagasan Ramakrishna kemudian berkembang pesat berkat muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902).
Tokoh-tokoh India lain seperti Muhatma Ghandi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna (1888-1875) juga menyuarakan pemikiran pluralisme yang sama. Dari hasil diskusi para dosen universitas Barat, orientalis, sejarawan dan lain-lain dengan tokoh-tokoh agama dan kebudayaan Timur pada akhirnya telah menghasilkan sebuah revolusi besar dalam ranah pemikiran sosio-religi dunia, maka muncul bapak pluralisme agama se-dunia John Harwood Hick (1973), seorang Protestan yang mendeklarasikan pahamnya secara ilmiah dan filosofis.
Estafet ini disambung secara meluas meskipun berjalan agak lambat oleh para pemikir-pemikir dunia bahkan Islam, semisal Seyyed Hossein Nasr [Iran], Rane Guenon, Abdul Wahid Yahya (1886-1951), Frithjof Schuon [seorang sufi terkemuka] dan Isa Nuruddin Ahmad (1907-1998).
Di Indonesia, penyebaran paham pluralisme secara insentif terus digulirkan oleh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab termasuk para pemikir JIL (Jaringan Islam Liberal) sebut saja Ulil Abshar Abdalla, juga sebagian dosen-dosen IAIN atau UIN banyak ikut andil dalam proses penyebaran pluralisme sebut saja Muhammad Ali, Zainun Kamal [pengajar Pasca Sarjana IAIN Jakarta], mereka beralasan bahwa pluralisme akan nyetel dengan struktur kehidupan masyarakat Indonesia yang hetoregen, untuk mengikis semangat fanatik antar suku, ras dan agama perlu digembor-gemborkan pluralisme[1].
Dalam sebuah Kamus Lengkap Bahasa Indonesia kata Pluralisdiartikan jamak lebih dari satu.[2] yang berasal dari kata Pluralyang artinya berlain-lainan, homogen, beragam, beraneka macam, bermacam rupa dan beraneka ragam.
Kata pluralyang ramai diwacanakan berasal dari istilah Latin pluralis. Pluralis sendiri berasal dari kata plusyang berarti lebih, artinya suatu realitas yang tersusun atas kejamakan, misalnya dalam hal keanggotaan, susunan, dan jenis.
Sedangkan isme berarti paham,[3] memahami atau pemahaman.[4] Jadi pluralisme adalah memahami dan menyadari suatu keadaan masyarakat yang terdiri dari ragam etnis, agama, kelompok budaya yang ko-eksis atau mengada bersama dalam suatu negara.
Banyak tokoh beranggapan bahwa pluralisme adalah toleransi dan pluralisme agama adalah toleransi agama, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mendefenisikan pluralisme adalah sebuah sikap menghargai keyakinan umat lain.[5] Namun sebagian orang berpendapat bahwa pluralisme adalah persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar dari pada yang lain, atau lebih akrab disebut semua agama adalah jalan keselamatan.
Beranjak dari perbedaan dalam memahami pluralisme sungguh telah mengukir kontroversi di kalangan masyarakat pada umumnya dan di kalangan intelektual pada khususnya. Ada yang menentang pluralisme seperti Anis Malik Thoha dengan alasan sebagai berikut:
Pluralisme pada umumnya dan pluralisme agama pada khususnya bukanlah sekedar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak di (salah) pahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan pluralisme lebih pada kesamaan atau kesetaraan (equality) dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh karenanya, sejatinya pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan iman-kufur.[6]
Dan ada pula yang mendukung pluralisme sebut saja Abdurrahman Wahid [tokoh ulama sekaligus tokoh politik], yakni ulama berkiprah di dunia politik berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama serta membangun negara bersama mereka. Bagi bangsa Indonesia yang dihuni masyarakat plural baik dilihat dari sudut etnis, budaya, bahasa maupun agama harus kita syukuri sebagai kekayaan bangsa, dimana satu dengan lainnya diikat sebagai suatu bangsa, walaupun keanekaragaman itu sendiri mengandung potensi konflik. Jadi semangat pluralisme itu merupakan syarat mutlak agar negara tetap eksis sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab keberagaman merupakan aset yang berharga untuk meningkatkan kreatifitas bangsa Indonesia, karena dengan keanekaragaman itu mengandung dinamika sosial yang sangat berharga dan dengan sikap pluralismelah keanekaragaman Indonesia itu mendapatkan satu titik temu, yaitu anti kebencian dan anti permusuhan terhadap pihak lain.
Selanjutnya Djohan Effendi mengatakan bahwa sebagian besar umat Islam kurang bersentuhan dengan ide-ide pluralisme, karena itu perbedaan agama menjadi penghalang untuk menjalin kerjasama,[7] bahkan ada yang merasa alergi ketika mendengar kata pluralisme.[8]
Abdurrahman Wahid,[9] berpendapat bahwa al-Qur’an jauh hari telah menguraikan pluralisme dalam surah al-Kafirun ayat ke enam yang berbunyi: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. (Q.s. al-Kafirun: 6).[10]
Dari ayat di atas Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dengan jelas kitab suci al-Qur’an tidak mentolerir kekerasan, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”, beliau juga menegaskan bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).[11] Menurutnya, dalam ayat ini terlihat bahwa al-Qur’an mendukung etika perbedaan dan toleransi, kemudian diperkuat oleh Sirajuddin Zar, mengatakan  bahwa pluralisme dalam sejarah Islam banyak dipraktekan Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah. Rasulullah sendiri memberikan otonom religius bagi orang-orang Yahudi, dan pada amandemen 1 tahun 622 piagam tersebut dikembangkan lagi dengan peraturan hidup bersama dengan umat Nasrani, sehingga tergambar umat manusia telah menjalin hubungan yang mesra (anak-anak manusia yang berbeda agama membangun kehidupan bersama) di bawah pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah. Ini menunjukan beliau mengakui keberadaan agama mereka, bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa orang-orang non muslim mengakui toleransi orang-orang Islam dalam menaklukan negeri-negeri sehingga banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk Islam.[12] Mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina,[13] hal senada juga di sampaikan oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat [seorang intelektual muda yang terkemuka juga penutur tasawuf yang cukup memukau] mengatakan bahwa Islam pada awal pertumbuhannya menunjukkan visi, potensi dan prestasi yang sangat menakjubkan dalam pembangunan peradaban unggul dengan cara damai, intelektual dan beradab. Namun, masa-masa produktif Islam terganggu ketika umat Islam terjebak dalam sengketa politik, baik sesama muslim maupun dengan pihak Yahudi dan Nasrani.[14]
Dari paparan yang dikemukakan Abdurrahman Wahid di atas terlihat bahwa latar belakang pluralisme berkaitan dengan tata negara (politik), dimana pluralisme bertujuan mewujudkan persatuan di kalangan masyarakat plural, sedangkan persatuan dan kesatuan adalah sangat perlu dijaga dan dilestarikan bahkan menjadi keharusan bagi setiap warga negara terutama di bidang agama, untuk eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia. Peranan agama tidak bisa dipandang sebelah mata dalam hubungan sosial, kebudayaan, maupun peradaban, sebab agama bisa saja menampilkan sosok yang seram dan menakutkan, meletupkan konflik dan pertikaian, sebagaimana terlihat bila kita membalik lembaran sejarah dunia, tidak sedikit diperoleh catatan tentang rusaknya persatuan suatu negara yang diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan (pergaulan) antara penganut agama yang berlainan. Seperti yang terjadi di Indonesia pada dekade sesudah tahun 1965, ketegangan sosial yang terjadi antara pemeluk agama-agama khususnya antara golongan Islam dengan golongan Kristen, antara lain; di Meaulaboh (Aceh) pada tahun 1967, Ujung Pandang tahun 1967, Jati Barang (Jawa Barat) tahun 1968. Slipi (Jakarta) tahun 1969, Simpang Kanan (Aceh) tahun 1979, Purwakarta tahun 1979, Bunia (Nusa Tenggara Barat) tahun 1979, Perkalongan tahun 1995 dan 1997, Tasikmalaya tahun 1996,[15] Ambon tahun 1998, Kupang tahun 1999, Ketapang tahun 1999 dan pada tempat-tempat lain.[16] Jadi agama bisa saja memberikan pengaruh dalam menyatukan masyarakat, dan sebaliknya agama juga dapat menjadi pemecah.
Terlepas dari kontraversi di atas, dalam memaknai batasan sikap toleransi pun para ilmuan berbeda pendapat. Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, M.A[17] mengatakan bahwa memberikan berupa fasilitas atau izin mempergunakan tempat dari atasan atau kepala sekolah yang (beragama lain) untuk peringatan keagamaan, ini merupakan toleransi dan terbatas dalam membantu menyiapkan sarana yang diperlukan untuk acara yang dimaksud, bukan ikut serta menghadiri atau melaksanakan upacara (ritual) agama tertentu.
Beranjak dari permasalahan di atas bahwa kita harus menyadari ketegangan agama-agama yang terjadi akan mengulangi lembaran hitam sejarah, maka penulis berkeinginan untuk membahas pluralisme secara mendalam agar penulis mengetahui latar belakang pluralisme dan kaitannya dengan tata negara (politik), yakni keutuhan suatu negara dalam perspektif Abdurrahman Wahid, yang akan penulis jabarkan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul ”LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PLURALISME”

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : [1]-Bagaimana perbedaan pendapat di kalangan pakar ilmuan tentang arti pluralisme, [2]-Bagaimana latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme, [3]-Bagaimana keterkaitan pluralisme dengan tata negara (politik).

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan penelitian ini bertujuan : [1]-Untuk mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ilmuan tentang arti pluralisme, [2]-Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme, [3]-Untuk mengetahui keterkaitan pluralisme dengan tata negara (politik).
Disamping tujuan penelitian, penulis juga mengharapkan penelitian yang akan dilaksanakan ini dapat bermanfaat atau berguna  sebagai berkut : [1]-Untuk kepentingan penelitian, [2]-Untuk kemajuan ilmu pengetahuan, [3]-Untuk melihat sisi kelebihan dan kekurangan dari pluralisme.

D.  Batasan Istilah
Dalam penulisan skripsi ini penulis dalam posisi netral hanya menampilkan apa adanya dari tokoh-tokoh, tidak berlebihan, tidak menghakimi, tidak memvonis, tidak berpihak mendukung atau mengusung ide pluralisme dan juga tidak menentang. Oleh karena itu untuk lebih memudahkan dan menghindari kerancuan akan kesalah pahaman terhadap masalah dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis menganggap perlu untuk membuat batasan istilah sebagai berikut: [1]-Latar belakang = Adapun latar belakang yang dimaksud adalah seluk beluk pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme, [2]-Pemikiran = Adapun pemikiran yang dimaksud di sini adalah gagasan atau ide-ide seseorang,[18] [3]-Pluralisme = Adapun yang dimaksud pluralisme di sini berbeda dengan pluralisme yang dikemukakan di kamus-kamus bahasa melainkan pluralisme yang dimaksud oleh Abdurrahman Wahid yaitu sikap kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul, bekerja bersama dan membangun negara bersama mereka, dengan kata lain pluralisme yang dimaksud di sini adalah kemajemukan agama yang disikapi dengan positif.[19]

E.   Kerangka Pemikiran
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, budaya, peradaban dan lain-lain. Keberagaman merupakan kenyataan yang telah ditetapkan oleh yang punya semesta alam ini atau sunnatullah (ketentuan dari Allah SWT), maka tidak ada alternatif lain kecuali menerima dan memelihara dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama.
Pluralisme juga dipahami sebagai sikap, pemahaman dan kesadaran terhadap kenyataan adanya keberagaman, kemajemukan sebagai sebuah keniscayaan. Namun, pluralisme tidak hanya dipahami sekedar untuk meredamkan dan menyingkirkan fanatisme. Tetapi pluralisme harus juga dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Ropiantinus[20] mengatakan bahwa salah satu yang melatar belakangi pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme adalah ayat al-Qur’an yaitu surah al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi: Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan kemudian kami jadiakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Q.s. al-Hujurat: 13).[21]
Menurut Abdurrahman Wahid, kata Li Ta’arafu artinya saling mengenal, tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor handphone atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal yang dimaksud di sini adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, yang tak sama (berbeda). Li Ta’arafu berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain. Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya, bukan sekedar sering ke mesjid atau ke majelis ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam atau puasa saban hari, tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati tidak melukai, sabar, ramah dan menaburkan sejuta kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.[22]

F.   Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis berhipotesis bahwa yang melatar belakangi pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme adalah seiring dengan tujuan mewujudkan dan melestarikan kerukunan umat beragama, karena menurut Abdurrahman Wahid kerukunan beragama merupakan faktor penting untuk memelihara kesatuan bangsa.
Dengan kerukunan tersebut diharapkannya, melahirkan persatuan dan kesatuan (situasi aman dan damai) guna memelihara stabilitas, ketahanan nasional atau eksistensi keutuhan kesatuan sebuah negara pada skala kecil dan keutuhan perdamaian internasional pada skala besar,

G.  Metode Penelitian
Adapun metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah  sebagai berikut : [1]-Pendekatan Penelitian = Adapun pendekatan penelitian dalam pembahasan skripsi ini adalah pendekatan penelitian kepustakaan, [2]-Pengumpulan Data = Pengumpulan data maksudnya ialah suatu metode dimana penulis berupaya mengumpulkan data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam pembahasan ini dari buku-buku hasil pemikiran Abdurrahman Wahid, yang berkaitan dengan pluralisme sebagai sumber primer yaitu Islam Ku, Islam Anda dan Islam Kita, dan juga kitab lain sebagai sumber skunder, [3]-Penentuan Jenis Data = Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan filsafi, karenanya pengelolahan data yang dilakukan adalah dengan cara pendekatan teks terhadap referensi dari berbagai literatur, dikarenakan penelitian ini penelitian kepustakaan, maka sumber data diklasifikasikan kepada : [a]-Sumber primer yaitu data yang diambil langsung dari tulisan Abdurrahman Wahid seperti : Islam Ku Islam Anda Islam Kita, dan dikarnakan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme tidak banyak dituliskan dalam bentuk buku tapi lebih banyak dipraktekannya dalam kehidupannya sehari-hari, dan semenjak beliau kembali kehadirat Allah SWT, maka terputuslah karya langsung dari pemikirannya, maka penulis banyak mengumpulkan data yang bersumber dari website yang berkaitan tentang pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid, [b]-Sumber skunder yaitu buku, tulisan, artikel atau ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, [4]-Analisis Data = Dalam menganalisa data yang sudah didapat, penulis menggunakan metode Content anality (analisis isi) yaitu : teknik mengumpulkan dan menganalisa isi teks dengan menggunakan pola pikir sebagai berikut : [a]-Metode Induktif yaitu bentuk kajian yang berangkat dari masalah yang khusus kemudian menarik kesimpulan secara umum, [b]-Metode Deduktif yaitu mengadakan kajian masalah secara umum kemudian menarik kesimpulan secara khusus, [c]-Metode Komperatif yaitu perbandingan data dan fakta, pendapat ahli dan teori yang berkenaan sehingga sampai kepada kesimpulan yang objektif dari data yang ada serta mengembangkannya, [5]-Teknik Penulisan= Teknik penulisan yang dipergunakan dalam pengolahan data pada skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN SU Medan tahun 2009.

H.      Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan penulis skripsi ini, penulis membaginya kedalam beberapa bab yang masing-masing terdiri dari sub bab yang saling terkait sebagai berikut : Bab I merupakan Pendahuluan yang menjelaskan; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Batasan Istilah, Kerangka Pemikiran, Hipotesis, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan, Bab II merupakan bab yang menjelaskan Biografi Cendikiawan Abdurrahman Wahid yang menguraikan; Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan, Aktivitas Intelektualnya (politiknya) serta Sekilas Tentang Karya Tulisnya, Bab III merupakan uraian tentang Pluralisme dan Permasalahannya; Perbedaan Arti Pluralisme di kalangan Ilmuan, Sejarah, Tujuan, Pluralisme ditinjau dari Islam & Tata Negara, Bab IV sebagai bab inti yang memaparkan tentang Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme dan Kaitannya dengan Tata Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pluralisme, Latar Belakang Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Kaitannya dengan Tata Negara, Bab V adalah bab penutup, dimana penulis menyimpulkan hasil penelitian ini, Diakhir penulisan ini penulis juga tidak lupa melampirkan daftar kepustakaan yang menjadi sumber rujukan penulis dalam skripsi ini, serta daftar riwayat hidup sebagai sarana penulis untuk memperkenalkan diri kepada para pembaca.

BAB II BIOGRAFI CENDIKIAWAN ABDURRAHMAN WAHID
A.    Riwayat Hidup
K.H. Abdurrahman Wahid. Kata kyai tidaklah berasal dari bahasa Arab, namun berasal dari Jawa yang mempunyai makna yang agung, mulia, keramat dan dituahkan. Kata kyai mempunyai arti yang kurang lebih sama dengan Ajengan (Sunda), Teuku (Aceh), Syekh (Sumatera Utara), Buya (Minang kabau), Tuan guru (NTB dan Kalimantan).[23] Abdurrahman wahid nama aslinya adalah Abdurrahman ad-Dakhil,[24] kerap disapa Gus Dur yang diambil dari nama daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan Gus”.
Aburrahman Wahid dilahirkan dalam lingkungan keluarga muslim Jawa terkemuka pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur (Jatim)[25] di sebuah kabupaten di Indonesia yang terkenal sebagai pusat pembelajaran Islam, Abdurrahman Wahid adalah anak sulung atau anak tertua sekaligus putra tertua dari seorang tokoh nasional, intelektual muslim yang termashur dan Menteri Agama pertama Repulik Indonesia (1949-1952)[26] yaitu K.H. Ahmad Wahid Hasyim (ayah), Ny. Hj. Munawaroh lebih dikenal Hj. Sholichah (ibu), kakek dari pihak ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), pemimpin sufi yang ulung (Naqasabandiyah) dan salah satu pendiri Partai Masyumi, maka Abdurrahman Wahid adalah cucu pendiri NU [organisasi yang berdiri sejak zaman Belanda 1926], sedangkan kakek dari pihak ibunya adalah K.H. Bisyri Sansuri, juga pengasuh pesantren di Denanyar Jombang yang bersama dengan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama.
Di antara anak K.H. Ahmad Wahid Hasyim atau adik-adik Abdurrahman Wahid adalah Aisyah Hamid Baidhowi yang memperjuangkan persamaan gender, ketua umum Muslimat Nahdlatul Ulama (1995-2000) dan anggota DPR dari partai Golkar. Adik Abdurrahman Wahid yang lain adalah Shalahuddin Wahid yang biasa disebut Gus Sholah, yang pernah menjadi pimpinan Partai Kebangkitan Umat (PKU), ketua PBNU, ketua ICMI dan duduk di komnas HAM. Ia juga pernah calon wakil presidan dari calon presiden Wiranto dari Golkar. Adik Abdurrahman Wahid yang lain adalah Muhammad Hasyim Wahid yang pernah menjadi ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Abdurrahman Wahid memiliki prestise sosial yang menonjol, yaitu kebanyakan orang Jawa ia dipandang sebagai seorang wali, ketika ia berkunjung ke berbagai tempat di Jawa, para pengikutnya yang setia akan mengerumuninya, berusaha untuk mendapat kesempatan mencium tangannya, atau sekedar menyentuh pakaiannya, semua itu dilakukan agar mereka mendapat berkah dari keturunan suci yang diwakili Abdurrahman Wahid. Garis silsilahnya yang sudah menahkodai kapal besar NU sehingga apa pun yang dikatakan Abdurrahman Wahid hampir-hampir menduduki posisi sebagai fatwa bagi berjuta-juta kaum muslimin di Indonesia. Sebagian orang berpendapat karena alasan inilah mengapa sikap-sikapnya yang liberal dan modernis.[27]
Abdurrahman Wahid sebagai intelektual muslim modern,[28] seorang yang berfikiran liberal bahkan termasuk satu di antara tokoh pelopor Islam liberal di Indonesia,[29] Abdurrahman Wahid banyak mengulas tentang pluralisme dalam kehidupannya sehari-hari, yang akhirnya beliau dikenal sebagai tokoh plural, ia juga dikenal sebagai sosok kontraversial, karena banyak yang setuju dengan pemikirannya, namun tak sedikit yang tidak setuju dengan pemikirannya.
Banyak yang suka pada pemikirannya, tetapi yang tidak suka pun tak kalah banyak, Abdurrahman Wahid tetap konsisten dengan pemikirannya tentang bagaimana merealisasikan hidup rukun antar umat yang berbeda agama dan tetap kukuh menolak syari’atisasi dan formalisasi agama secara kaku,[30] sampai ia meninggal pada hari Rabu 30 Desember 2009 di RSCM (Rumah Sakit Cipto Kusumo) Jakarta, menjelang tahun baru 2010, dan dikubur di Jombang Jawa Timur Kamis 31 Desember 2009.

B.    Latar Belakang Pendidikan
Pada pendidikan tingkat dasar, Abdurrahman Wahid lulus Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta pada tahun 1953 kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1956. Dari tahun 1953 sampai tahun 1957 ia tinggal dirumah K.H. Junaid seorang kyai Muhammadiyah dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Di samping sekolah di SMEP, ia juga belajar di Pesantren al-Munawir, Krapyak Yogyakarta, dan mengaji kepada K.H. Ali Maksum. Pada waktu itu ia telah banyak membaca buku-buku What Is to be done?” karya Lenin [teolog komunis],Das Capital” dan Captain’s Doughter” karya Turgenef, lewat buku-buku inilah yang telah mengantarkan Abdurrahman Wahid untuk berpikir liberal. Dengan sikapnya yang liberal sering mengganggu hubungannya dengan para anggota NU yang lebih tua. Namun, sikap tolerasi beragama dan HAM yang ditebarkannya membuatnya disanjung oleh kalangan muda, aktivis NU yang berpikir reformis, intelektual liberal, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan para pemimpin serta usahawan China dan Kristen minoritas.
Sebagaimana layaknya anak seorang kyai, selepas SMEP, Abdurrahman Wahid melewati masa-masa nyantri di pesantren. Diantaranya pernah menjadi santri di Pesantren Tegal Rejo, sebuah pesantren NU terkemuka di Magelang selama dua tahun (1957-1959) dibawah asuhan K.H. Khudhori. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Tambak Beras Jombang selama empat tahun (1959-1963) di bawah bimbingan K.H. Wahab Hasbullah.
Pada tahun 1964-1966 ia melanjutkan studinya ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas Al-azhar Kairo, Mesir, di Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi (Departement Of Higher Islamic Arabic Studies) atas biaya dari Departemen Agama Republik Indonesia yang kala itu dipegang oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ketika  Universitas Al-azhar Kairo tersebut dipandang tidak lagi kondusif. Abdurrahman Wahid memutuskan untuk berhenti ditengah jalan. Selama dua tahun. di Mesir, inilah Abdurrahman Wahid lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan di Mesir, diantaranya perpustakaan Amerika Serikat.
Dari Mesir Abdurrahman Wahid kemudian melanjutkan adventure” (pertualangannya) ke Irak, tepatnya di Baghdad University dan di sini ia mengambil Fakultas Sastra (tahun 1966-1970). Di sini Abdurrahman Wahid tampak mempunyai minat atas kajian Islam Indonesia. Atas minatnya, Abdurrahman Wahid dipercaya untuk meneliti asal usul historis Islam Indonesia. Dan kemungkinan juga karena kemampuan dan fiqurnya yang mendunia, sampai Abdurrahman Wahid dipercaya sebagai Dewan Kurator pada Saddam Husein University.
Selanjutnya tahun 1971 ia melanjutkan pertualangannya ke Erofa Barat kurang lebih selama satu tahun, yaitu setengah tahun di Belanda, empat bulan di Jerman dan dua bulan di Prancis. Ketika di Prancis ini, Abdurrahman Wahid sempat menjadi kandidat master (S2) di Sarbonne University, kuliah dan ujian-ujian telah ditempuhnya, akan tetapi setelah meninggalnya profesor penasehatnya membuat penulisan tesisnya tertunda, karena itu dia pergi ke Eropa untuk kuliah S3. lagi-lagi dikarenakan terkendala persyaratan bahasa Eropa untuk studi lanjutan. Oleh karena itu dia pergi ke Eropa dia kemudian belajar sendiri bahasa Prancis, Inggris dan Jerman.[31] Setelah dipikir-pikir waktunya dianggap terlalu lama Abdurrahman Wahid berhenti dan pulang ke tanah air, dari pengalaman-pengalaman inilah mempengaruhi kehidupan dan perjuangannya di kemudian hari.[32] Bila dilihat dari jenjang dan jalur pemikiran Abdurrahman Wahid sejak dari tingkat dasar sampai pada tingkat perkuliahan selalu diwarnai oleh keilmuan bidang agama, hal ini dapat dilihat dengan disiplin ilmu yang ia geluti, maka dapatlah dikatakan bahwa otoritas keilmuan Abdurrahman Wahid adalah di bidang keagamaan, sebagai impilikasi dari otoritas keilmuannya, pandangan pluralisme Abdurrahman Wahid tertanam kuat dari pemahamannya terhadap Islam, seluruh karyanya terutama essai-essai yang dimuat majalah Tempo, sangat menjelaskan betapa Abdurrahman Wahid meyakini benar bahwa ekspasi Islam paling utama sekali dengan dua tema lainnya yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid, yakni rasionalitas dan pendirian bahwa melalui usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih baik, disukai dan diterima dalam menghadapi tantangan-tantangan modernitas.
Dari paparan di atas bila diamati lebih dalam terlihat bahwa idiologi Abdurrahman Wahid, adalah produk dari berbagai aliran agama dan budaya. Idiologi itu tidak hanya di dasarkan latar belakang dan pengalaman Islam Indonesianya saja, tetapi juga pada karya-karya pemikir dan aktivis muslim dalam dunia Islam serta para teologi pembebasan di Amerika latin.

C.    Aktivitas Dan Kegiatan Intelektualnya
Ketika aktif menjadi mahasiswa, Abdurrahman Wahid sempat menjabat sebagai sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir (1946) dan sebagai pendiri Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang bermarkas di Belanda.[33] Setelah kembali ke tanah air, Abdurrahman Wahid meniti karirnya. Karirnya banyak di pesantren sebagai seorang ustadz (mu’allim) di Pesantren Tambak Beras Jombang (1959-1963) dan ia jaga menjadi guru pengajar (mu’allim) di Pesantren Tebu Ireng. Setelah itu pada tahun 1972-1974 menjadi Dekan Fakultas Usuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari, sekarang Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKHA) Jombang, kemudian tahun 1974 sampai tahun 1979 disamping sebagai Dekan Fakultas Usuluddin ia juga menjadi sekretaris umum Pesantren Tebu Ireng, Jombang serta pengasuh Pesantren Ciganjur, selama periode inilah secara teratur ia semakin terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat katib awal PB Syari’ah NU sejak tahun 1979.
Sejak kepindahannya ke Jakarta pada tahun 1979, Abdurrahman Wahid mengawali karirnya di PBNU dan mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren Ciganjur di Jakarta Selatan. Ia juga banyak terlibat dalam kegiatan di Jakarta termasuk menjadi tenaga pengajar pada program training untuk pendeta Protestan. Dipertengahan 1970-an secara beraturan ia telah menjalin hubungan dengan Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi pendiri ICRP (Internasional Conferencee in Religion and Peace), maka saat pindah ke Jakarta, ia semakin intens bergabung dengan teman-temannya ini dalam rangka forum-forum akademik dan kelompok-kelompok kajian. Sekalipun Abdurrahman Wahid tidak pernah mempunyai kesempatan belajar dalam pendidikan ala Barat, namun sejak usia muda ia telah cukup banyak menelaah bacaan yang bersumber dari literatur Barat.
Tahun 1980 hingga 1983 Abdurrahman Wahid dipilih sebagai salah seorang Nominator yang turut serta memberikan pertimbangan atas penerimaan Agha Khan Award untuk arsitektur Islam di Indonesia. Dan sejak tahun 1984 ia menjadi penasehat untuk The Internasional Dialogue Fondation Project On Perspective Studies And Seculer Law (Proyek Pembinaan Dialog Internasional Untuk Kajian-kajian Wawasan dan Hukum Sekuler).
Dari tahun 1983 hingga tahun 1985, Abdurrahman Wahid keturunan kyai dan sering di panggil kyai itu juga tertarik dengan bioskop, wayang, pencak silat,[34] dia pun berkecimpung pula di dunia seni hingga menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Isma’il Marzuki Jakarta, ia dua kali terpilih sebagai ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) dan Badan Sensor Film (BSF). Penunjukan dirinya untuk berkiprah di dunia film bagi tokoh dari dunia pesantren seorang ’alim seperti Abdurrahman Wahid tentu saja sangat tidak lazim dan mengandung kontroversi.
Kemudian pada bulan Desember 1984, dalam muktamar ke-27 di Pesantren Sukorejo, Situbondo Jawa Timur Abdurrahman Wahid terpilih sebagai ketua umum PB Syari’ah NU nama Gus Dur makin mencuat setelah ia terlibat langsung dalam kepengurusan NU, karena saat itu hubungan NU dengan pemerintah lagi mesra-mesranya. Ketika ia menjabat sebagai ketua umum PBNU, ia telah melakukan berbagai perubahan di tubuh NU, salah satu kiprah Abdurrahman Wahid yang paling menonjol saat memimpin Nahdlatul Ulama, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya yaitu organisasi keagamaan, keluar dari politik praktis pada tahun 1984. Abdurrahman Wahid mengumumkan bahwa NU tidak lagi berkiprah sebagai organisasi partai politik praktis, tetapi kembali ke khittah (sebagai organisasi yang bergerak pada wilayah sosial keagamaan), suatu keputusan yang mengecewakan beberapa sesepuh NU.[35] Upaya Abdurrahman Wahid mengembalikan NU sebagai organisasi yang bergerak di wilayah sosial keagamaan berhasil mencapai perubahan luar biasa dalam cara pandangan NU, lebih jauh Abdurrahman Wahid berhasil membongkar cara berfikir komunitas NU terhadap keanekaragaman, khususnya di kalangan anak mudanya Abdurrahman Wahid juga berhasil dalam mempengaruhi masyarakat Indonesia secara lebih luas agar memaklumi hubungan antara Pluralisme dan Demokrasi, sehingga lahir sebuah kedewasaan baru yang baik bagi umat Islam ataupun masyarakat luas. Atas nama baik keluarganya, yang tanpa cela, hubungannya dengan NU, talenta intelektual dan politiknya membuatnya mampu saat itu dan seterusnya mempertahankan kepemimpinannya.[36]
Abdurrahman Wahid juga sebagai salah satu presiden WCRP (World Council For Religion And Peace), anggota dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon Perez Peace Centre), pendiri dan sekaligus sebagai ketua pokja Forum Demokrasi (FODEM) pada tahun 1990, penerima penghargaan Dakwah Islam dari pemerintahan Mesir (1991), penerima penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintahan Filipina atas usahanya mengembangkan pluralisme dan toleransi beragama (hubungan antar-agama) di Indonesia (1993),[37] ketua konfrensi agama dan perdamaian sedunia pada tahun 1994.
Pada tahun 1999, Abdurrahman Wahid membawa Nahdlatul Ulama kembali ke dunia politik dalam format yang berbeda karena dilakukannya melalui pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang selalu dirujuk sebagai ”anak kandung” Nahdlatul Ulama. Abdurrahman Wahid tidak mengakui partai lain bentukan orang-orang Nahdlatul Ulama selain PKB. Ia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999, dan pada bulan November ia diangkat sebagai kepala suku dengan gelar Kepala Suku Perdamaian oleh suku Indian di Salt Lake City Amerika Serikat. Akhirnya pada tanggal 20 Oktober 1999 Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 sebagai hasil sidang MPR RI tahun 1999, walaupun akhirnya Abdurrahman Wahid diberhentikan pada sidang istimewa MPR RI pada tanggal 24 Juli 2001.
Abdurrahman Wahid tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah, salah satunya penentangan yang dilakukan beliau ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, demikian juga ketika B.J. Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang di nilai Abdurahman Wahid ingin mengislamkan pemerintah dan masyarakat yang akan merusak persatuan nasional, pluralisme religius dan politik serta mengancam keberadaan kalangan non muslim, hingga akhirnya Abdurrahman Wahid mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi,[38] bersama dengan tokoh-tokoh pimpinan dari latar belakang agama yang berbeda.[39]
Kemudian pada saat ia menjabat sebagai presiden pernah melakukan perlawanan terhadap tindakan DPR dan MPR yang ingin menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI-MPR) untuk meminta pertanggung jawaban presiden, yang dianggap Abdurrahman Wahid melanggar Undang-Undang Dasar lalu mengeluarkan Dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi dekrit tersebut tidak mendapat dukungan yang kuat hanya PKB dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) yang memberi dukungan. Pada akhirnya SI-MPR pun diselenggarakan, tepatnya pada tanggal 23 Juli 2001. Abdurrahman Wahid akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggungan-jawaban dalam SI-MPR itu.
Pada pemilu 2004 ia dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai Cawapres, namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Beranjak dari perpolitikan Abdurrahman Wahid di atas juga ada beberapa ungkapan atau buah pemikirannya yang menuai kritik (kontroversi) di kalangan ulama bahkan sangat populer di tengah masyarakat, antara lain sebagai berikut: [1]-Pluralisme, [2]-Sangat akrab dengan non muslim,[40] [3]-Ingin menggati ucapan ’assalamu’alaikum’ dengan selamat pagi/siang/malam, [4]-Gitu aja kok repot, [5]-Al-qur’an adalah kitab porno, [6]-Menolak penerapan hukum syari’at di Indonesia,[41] [7]-Membela goyang Inul Daratista, saat anggota fatayat NU itu dicela oleh berbagai kalangan karena aksi ngebornya,[42] [8]-Meresmikan agama Konghucu, [9]-Pribumisasi Islam,[43] yaitu upaya merekonsialisasikan Islam dengan budaya lokal. Menurut Abdurrahman Wahid bahwa proses Islamisasi yang serba menyeragamkan dengan Arabisasi akan membuat kaum muslimin Indonesia tercabut dari budaya lokalnya. John L. Esposito & John O. Voll, menyebutnya dengan istilah Indonesianisasi yakni menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat, karena budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.[44]

D.    Sekilas Tentang Karya-Karya Abdurrahman Wahid
Setelah Abdurrahman Wahid kembali ke Indonesia, ia mulai berkarir sebagai cendikiawan dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Oleh John L. Esposit menyebutnya sebagai cendikiawan inovatif.[45] Hingga pada akhir tahun 70-an, Abdurrahman Wahid, suami dari Sinta Nuriyah ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendikiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik, karya-karya atau tulisan Abdurrahman Wahid dapat dibagi dalam dua priode yang berbeda.
Priode pertama, meliputi tahun 1970 hingga akhir 1977, masa dimana Abdurrahman Wahid menfokuskan tulisannya pada dunia pesantren. Dan tulisan-tulisan tersebut telah dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren”.[46] yang memuat 12 artikel.
Priode kedua, mulai bulan Januari 1978 sampai 1981, dimana tulisan-tulisannya yang memuat 17 artikel pada priode kedua inilah Abdurrahman Wahid muncul sebagai intelektual publik, sebab disamping ia sering tampil di kalangan intelektual Jakarta, ia juga banyak menulis essai di media massa Jakarta khususnya majalah Minggu Tempo. Banyak sudah karya tulis Abdurrahman Wahid baik berupa artikel, makalah yang dibukukan. Adapun karya Abdurrahman Wahid lain yang telah dibukukan adalah sebagai berikut: [1]-Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997), [2]-Tabayun Gus Dur (1997), [3]-Tuhan Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: Lkis, 1999), [4]-Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: Lkis, 1999), [5]-Membangun Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000), [6]-Islam ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).
Buku Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita adalah merupakan kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid dari sejumlah media massa yang merupakan impresi pemikirannya yang mendalam terhadap dinamika keberagaman dan kebangsaan rakyat Indonesia, serta perenungannya tentang Islam dan masalah kenegaraan. Disamping itu masih banyak lagi karya-karya Abdurrahman Wahid berupa artikel atau kata pengantar yang tersebar diberbagai buku, majalah, jurnal dan lain-lain.

BAB III TENTANG PLURALISME DAN PERMASALAHANNYA
A.    Perbedaan di Kalangan Ilmuan Tentang Arti Pluralisme
Pluralitas (keragaman) merupakan sunnatullah (ketentuan Allah) di alam ini, artinya semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman. Kita dapat lihat ciptaan Allah seperti manusia, jin dan iblis adalah bentuk pluralitas dalam kerangka makhluk Allah, pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia, begitu juga agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Islam merupakan bentuk pluralitas keyakinan manusia, anggota keluarga adalah pluralitas dalam kerangka kesatuan keluarga, begitu juga Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan al-Wasliyah adalah merupakan pluralitas dari kerangka aliran, dan masih banyak lagi pluralitas yang ditunjukan di alam ini.
Abdurrahman Wahid,[47] berpendapat bahwa pluralitas aliran di tubuh Islam tidaklah menjadi masalah, karena Allah sendiri yang akan menilai sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an di surah al-Baqarah ayat 285 yang berbunyi: Maka Allah mengampuni yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendakinya, dan Allah mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.s. al-Baqarah: 284).
Selain dari pengalaman di atas ada juga pendapat para pakar yang dianggap dapat lebih memperjelas pengertian pluralisme, sebagai berikut: [1]-Diana L. Eck,[48] mengatakan bahwa pluralisme bukan sekedar fakta keragaman semata namun merupakan komitmen aktif untuk mempertahankan keragaman, oleh karena itu pluralisme tidak hanya pengakuan terhadap adanya keragaman, namun penghargaan bahwa keragaman tersebut mempunyai nilai positif, [2]-Dr. Alwi Sihab,[49] mengatakan bahwa pluralisme tidak hanya kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama atau budaya sering kita jumpai dalam masyarakat, baik di kantor tempat kita bekerja, bahkan, ditempat kita berbelanja. Jadi seseorang bisa dikatakan dapat menyandang gelar pluralis apabila ia dapat berintegrasi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut, dengan kata lain, pengertian pluralisme agama bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlihat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan. Dr. Alwi Sihab[50] juga menegaskan bahwa penerapan pluralisme agama di Indonesia harus bersyarat satu hal yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yaitu seorang pluralis dalam berintegrasi dengan anekaragam agama, tidak hanya dituntut membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi ia juga harus commited terhadap agama yang dianutnya, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, tetapi jangan sampai terjebak kepada fanatisme, [3]-Prof. Dr. Nurcholish Madjid Ph.D (seorang alumnus Universitas Chicago bidang filsafat Islam),[51] yang akrab dipanggil Cak Nur, mengatakan bahwa pluralisme adalah suatu paham mencari pertemuan sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan kesopanan, karena menurut beliau semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama yaitu berserah diri kepada Yang Maha Esa. Selanjutnya dikarenakan dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungan satu sama lain, maka agama-agama berangsur-angsur menemukan kebenaran sendiri, namun semuanya bertemu dalam satu titik pertemuan yaitu Tuhan.[52] Hal senada juga disampaikan H. M. Kamaluddin Lubis, SH. [ketua Lembaga Anti Rasi desingkat dengan sebutan LARAS Medan] mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama hanya saja karena faktor historis-antropologis agama lalu tampil dalam format plural,[53] [4]K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur mengatakan pluralisme adalah paham yang menerima kenyataan yang majemuk dengan positif dengan alasan bahwa Islam menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an di surah al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi sebagai berikut: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia.” (QS al-Anbiyâ:107).[54]
Abdurrahman Wahid,[55] mengatakan bahwa salah satu masalah yang muncul dari pluralitas agama, adalah adanya sikap negatif yang menganggap bahwa agama milik seseoranglah yang paling benar sedangkan yang lain salah, Abdurrahman Wahid memang membenarkan bahwa seseorang harus meyakini kebenaran agama yang dianutnya tapi jangan menyalahkan kepercayaan orang lain. Menurutnya, sikap ini dianggap arogan dan mengindikasikan rendahnya iman seseorang. Dia mengatakan, “Hanya Allah yang paling benar”, [5]-Zulkarnaen M.Ag,[56] mendefenisikan pluralisme adalah banyak pemahaman dan yang ingin dicapai adalah keseragaman, [6]-Abdul Wahid Yahya mengatakan pluralisme dalam tataran semua agama sama benarnya (relativisme kebenaran agama), yaitu Tuhan satu dan persamaan antar agama,[57] maka menurutnya tidak dituntut mengislamkan orang-orang yang sudah beragama selain Islam, dan seseorang tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena menurutnya sikap seperti ini merupakan pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Hal ini di dukung oleh kaum liberal yang menyatakan bahwa semua pemeluk agama apa pun semua menuju keselamatan, asalkan beriman kepada Allah”, percaya kepada hari akhir” dan beramal saleh” pasti akan selamat. Hal senada juga disampaikan oleh kaum pluralis agama, mereka berargumentasi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama, maka semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Begitu juga yang diungkapkan kaum pluralis Hindu yang menyebarkan pluralisme agama dari makna yang tersurat dalam Bhagavad Gita, yang antara lain berbunyi: jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima”,[58] [7]-Drs. Harman Tanjung mengatakan pluralitas adalah mengakui adanya perbedaan agama-agama (realitas adanya), dan bagi ummat Islam tetap mengakui hanya agama Islamlah yang benar, sedangkan pluralisme adalah paham semua agama sama benarnya.[59]
Dari paparan di atas terlihat bahwa kontroversi akan keberadaan pluralisme di kalangan para pemikir Islam adalah terpusat pada pluralisme atau pluralitas sebagian menyamakannya dan sebagian yang lain membedakannya. Pluralitas merupakan kebalikan dari sikap eksklusif. Adapun contoh pluralisme aliran yaitu seorang NU boleh saja shalat di mesjid Muhammadiyah begitu sebaliknya orang Muhammadiyah shalat di mesjid NU. Sedangkan contoh dari eksklusif yaitu orang LDII (Islam Jama’ah) hanya ada di mesjid mereka dan mesjid mereka hanya untuk mereka (mesjid mereka tertutup bagi kalangan di luar mereka) dan pernikahan pun hanya terjadi di antara sesama mereka. Dan juga contoh ekslusif agama Kristen. Penganut Katolik tidak mau disamakan dengan penganut Kristen Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing dan orang Katolik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Pluralitas hanyalah mengaku adanya agama-agama, tidak mengakui sama ataupun benarnya (tidak menyamakan semua agama) ruh yang terkandung dan menjadi kesadaran adalah pluralisme yaitu kesediaan masing-masing untuk menerima perbedaan, sehingga perbedaan itu tidak menjadi kendala menjalin kebersamaan, sedangkan sinkretisme adalah mengakui semua agama sama.[60]
Sumber perbedaan di antara para Ilmuwan pada dasarnya adalah karena perbedaan tingkat kemampuan berfikir atau karena perbedaan tingkat-tingkat penguasaan dan pemahaman mereka serta karena perbedaan metodologi yang dipakai dalam melihat pluralisme. Ada pun objek perbedaan pendapat dapat dibagi dalam dua kategori besar:
Pertama, perbedaan dalam menggunakan defenisi pluralisme. Kedua, perbedaan dalam memahami pluralisme, misalnya dalam penyelesaian masalah di atas sebagian cendikiawan menganggap pluralitas sama dengan pluralisme sedangkan yang lain membedakannya. Dan perbedaan selanjutnya pada tataran memahami pluralisme, dimana sebagian ilmuan memahaminya sebagai relativisme (semua agama sama) dan sebagian yang lain memahaminya tak lebih hanya sebagai sikap saja.

B.    Sejarah
Bila mengkaji sejarah pluralisme maka sungguh dalam keadaan tataran kontroversi. Hal ini dikarenakan keragaman pemahaman para pakar dalam memahami arti pluralisme. Oleh karena itu penulis membaginya dari dua perspektif yaitu; [1]-Sejarah Pluralisme dari Perspektif Timur Tengah : Pluralisme adalah faham yang memandang semua agama itu sama benarnya dan sejajar semua menuju keselamatan hanya beda teknis, karena pengusung faham pluralisme beranggapan bahwa semua agama berasal dari Allah, hanya beda teknis saja. Faham pluralisme agama berasal dari faham tokoh sufi atau tasawuf Ibn al-’Arabi (560-638 H / 1165-1240 M) yaitu Wihdatul Adyan (penyatuan semua agama), kemudian diikuti oleh Abdul Munir Mulkhan, Syarif Ma’arif dan sebagainya.
Pluralisme sudah lama diusung oleh pemeluk agama Baha’i yang merupakan sempalam paham Syi’ah Imamiah yang pertama kali diperkenalkan oleh Mirza Ali Muhammad, menurut mereka semua agama itu benar dan sama, tidak ada agama yang salah, karena yang salah cuma orangnya. Penganut agama Baha’i ini mengakui keberadaan Nabi Muhammad, namun bukan sebagai Nabi terakhir, karena menurut mereka Nabi Muhammad telah meninggal, maka Nabi mereka adalah Baha’ullah, dan mereka juga memiliki kitab suci sendiri yaitu al-Aqdas.[61]
Agama Baha’i ini sebenarnya lahir dari seorang yang pada mulanya beragama Islam, yaitu Baha’ullah. Tetapi kemudian mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan suatu agama sendiri yang pesan utamanya adalah menyatukan semua agama.[62]
Pada tataran selanjutnya pluralisme mengalami perkembangan dan perbaikan di antara pemikir kontemporer sebut saja Abu Hanifah,[63] mengatakan bahwa pluralisme tidak berarti pernyataan bahwa semua agama sama, juga tidak berkaitan dengan pertanyaan agama mana yang benar dan baik. Namun, pluralisme adalah kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Dalam penerimaan itu, orang bersedia untuk hidup, bergaul, dan bekerja sama membangunan negara, [2]-Sejarah Pluralisme dari Perspektif Barat : Pluralisme berasal dari Barat, maksudnya dipelopori dan disebarkan secara meluas di Barat. Dr Muhammad Legenhausen,[64] dalam bukunya Islam And Regilious Pluralisme berpendapat bahwa konsep pluralisme bisa dirunut dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang mempelopori gerakan Protestan liberal pada abad ke-19. Hal ini tidak bisa dipungkiri dikarenakan determinasi dan persekusi gereja Katolik atas gereja Protestan.
Kemudian datang setelahnya sederet nama pemikir agama dan sejarah kelas dunia yang mendefenisikan isu pluralisme, dan yang terakhir, John Harwood Hick,[65] dengan bukunya An Interpretation Of Religion: Humas Responses To The Transcendent dianggap telah berhasil mematangkan konsep pluralisme dalam tataran ilmiah maupun filosofis sehingga mampu menjelma menjadi sebuah wacana pemikiran modern selevel Liberalisme, Sekulerisme, Feminisme dan lain-lain.
Akan tetapi, pluralisme sejatinya sudah muncul sejak zaman lahirnya ajaran Sikh di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu guru Nanak (1469-1538). Ajaran Nanak ini berintikan bahwa semua keyakinan yang ada adalah benar, bahkan, Parrinder dan Sharpe menganggap bahwa tokoh-tokoh Indialah yang dianggap paling berjasa dalam memperkenalkan pluralisme untuk pertama kalinya pada abad 19, yaitu Rammohan Ray (1772-1833) yang mencetuskan pemikiran Tuhan itu satu dan persamaan antar agama, dan Sri Ramakrishna (1834-1886) yang menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi. Gagasan Ramakrishna kemudian berkembang pesat berkat muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902). Tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Ghandi seorang beragama Hindu (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna (1888-1875) juga menyuarakan pemikiran pluralisme yang sama. Dari hasil diskusi para dosen universitas Barat, orientalis, sejarawan dan lain-lain dengan tokoh-tokoh agama dan kebudayaan Timur pada akhirnya telah menghasilkan sebuah revolusi besar dalam ranah pemikiran sosio-religi dunia, maka muncul bapak pluralisme agama se-dunia John Harwood Hick, seorang Protestan yang mendeklarasikan pahamnya secara ilmiah dan filosofis, estafet ini disambung secara meluas meskipun berjalan agak lambat oleh para pemikir-pemikir dunia bahkan Islam, semisal Seyyed Hossein Nasr [Iran], Rane Guenon, Abdul Wahid Yahya (1886-1951), Frithjof Schuon dan Isa Nuruddin Ahmad seorang sufi yang terkenal (1907-1998).
Di Indonesia, penyebaran paham pluralisme secara intensif terus digulirkan oleh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab termasuk para pemikir JIL (Jaringan Islam Liberal) sebut saja Ulil Abshar Abdalla, juga sebagian dosen-dosen IAIN atau UIN banyak ikut andil dalam proses penyebaran pluralisme seperti Muhammad Ali, Zainun Kamal [alumnus Universitas al-Azhar, Mesir], mereka beralasan bahwa pluralisme akan nyetel dengan struktur kehidupan masyarakat Indonesia yang hetorogen. Untuk mengikis semangat fanatik antar suku, ras dan agama perlu digembor-gemborkan pluralisme.[66] Dan dari kalangan Kristen adalah J. B. Banawiratma, Franz Magnis Suseno, dan Eka Darmaputera.[67]

C.    Tujuan
Prof. Pagar [Ketua Syari’ah PBNU Sumut] mengatakan perbedaan, baik strata ekonomi, idiologi, keimanan, maupun latar belakang etnis, adalah bertujuan positif, karena tanpa adanya pluralitas (keragaman), maksudnya makhluk sama persisnya dengan keseluruhan maka pertanyaan yang harus dijawab di sini adalah bagaimana seorang kepala negara akan membedakan antara menteri pertahanannya dengan tukang kebunnya dan lain-lain.[68] Menurut beliau pluralitas (keragaman) itu pada dasarnya bertujuan baik untuk kelangsungan hidup manusia.
Pluralisme pada dasarnya adalah merupakan usaha antisipasi serta mengindari terhadap pertumbuhan fanatisme sempit (fanatisme yang tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang mendalam) yang berbuahkan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi dan dilakukan oleh sejumlah kelompok, untuk itu pluralisme berusaha dapat menetralisir konflik-konflik diantara kelompok guna menciptakan perdamaian dan kehidupan yang harmonis.
Dr. Anis Malik Thoha mengatakan bahwa pemikiran pluralisme agama bermuara kepada pemberian (ingin mengujudkan) legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan idiologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai, serta dengan tanpa adanya perasaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain. Selanjutnya tujuan pluralisme (keragaman) aliran dalam Islam adalah untuk memberikan keleluasan kepada masyarakat dalam memilih konsep-konsep terbaik dan peraktek-peraktek yang cocok dengan perkembangan zaman dan kondisi lingkungan tertentu. Disamping itu pluralisme aliran juga bertujuan membantu para pencari hukum dan keadilan untuk menemukan hukum yang tepat bagi permasalahan yang dihadapi.[69]
Menurut Abdurrahman Wahid pluralisme bertujuan untuk mempertahankan atau penyatu dan perekat suatu negara, oleh karena itu Indonesia memerlukan pengembangan konsep pluralisme. Disamping itu pluralisme juga bertujuan menghormati perbedaan, karena semakin mengeratnya nilai pluralisme (keragaman) yang diyakininya oleh seseorang maka dengan itu muncul sikap menghormati keyakinan agama lain sehingga tercipta perdamaian abadi dan saling menghormati antar umat beragama, bangsa dan antar manusia.[70] Selanjutnya Nurcholish Madjid menambahi bahwa pluralisme bertujuan supaya suatu kelompok dari kalangan orang-orang muslim tidak memandang rendah atau meremehkan orang yang beragama lain.[71]
Dari paparan di atas kita mendapatkan gambaran bahwa tujuan pluralisme itu adalah mengembangkan pola hubungan kerukunan, toleransi, fair yang terpusat pada upaya penghapusan konflik, dan selanjutnya pada tataran pluralisme agama untuk menciptakan hubungan yang baik antara umat beragama bisa hidup bersama secara damai,
Ada pun sebagian orang yang tidak setuju dengan peluralisme melihat bahwa pluralisme disinyalir bertujuan untuk menimbulkan pemahaman yang meringan-ringankan ajaran agama sehingga pergaulan antar umat beragama sehari-hari dapat memunculkan sikap toleransi yang terlalu liberal. Toleransi terlalu liberal dimaksud di sini adalah menyatakan bahwa agama merupakan sarana jalan dan tujuan adalah Tuhan, maka dari ini menurut mereka bisa saja orang Islam memakai jalan orang Kristen untuk mencapai tujuan atau agama lain memakai jalan orang Kristen untuk mencapai tujuan atau agama lain memakai jalan dari agama lain di luar yang dianutnya, jika tujuan semua agama itu adalah Tuhan.
Lebih lanjut sebagian orang juga ada yang berasumsi bahwa pluralisme bertujuan untuk mengusik dan merusak aqidah umat Islam, bahkan akan menghancurkan nasib masa depan yang sebenarnya (yakni nasib diakhirat kelak). [72]

D.    Pluralisme ditinjau dari Islam
Agama Islam memiliki hukum yang melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, dari hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah) sampai hubungan antara manusia dan alam sekitar (hablun min al nash atau muamalah) semua ini bertujuan agar manusia hidup sejalan dengan aturan dan dapat membangun keteraturan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan,[73] dan menyelamatkan manusia dan kehidupannya dari kerusakan serta pertumpahan darah.[74]
Berbicara tentang pluralisme, para serjana muslim meyakini bahwa agama Islam mempunyai prinsip-prinsip pluralisme,[75] maksudnya al-Qur’an dan al-Hadits jauh hari telah memuat atau menetapkan secara baku tentang pluralisme yaitu sikap saling menghormati antara sesama manusia, baik antara sesama muslim maupun antara muslim dengan bukan muslim, bahkan sangat di anjurkan oleh Islam.[76] Sikap saling memnghormati ini meliputi berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang hidup keagamaan, misalnya, kendatipun Ahl al-Kitab itu termasuk orang-orang kafir, namun dalam al-Qur’an mereka tidak dipanggil dengan sebutan kafir, dalam mengaudensi mereka. al-Qur’an tetap menggunakan panggilan Ahl al-Kitab yang menunjukan toleransi beragama yang tinggi. Dengan demikian, ini memperluas wawasan muslim dalam sikap, tindakan, dan beraktivitas dalam membina kerukunan hidup di tengah masyarakat yang plural, karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara layak dan normal tanpa berintegrasi dengan sesama manusia, oleh karena itu al-Qur’an tidak menghalangi umat Islam untuk membina hubungan sosial dengan non muslim.[77] Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memberikan kelonggaran kepada orang-orang Islam, baik tersurat maupun tersirat, untuk membina hubungan sosial yang konstruktif dengan non muslim sebagai berikut:[78] [1]-Dalam al-Qur’an surah al-Hujrat ayat 13: Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.s. al-Hujrat: 13).[79]
Pada ayat ini, Tuhan secara eksplisit, menyebutkan bahwa perbedaan warna kulit (ras) dan suku adalah realitas yang disengajakan oleh-Nya. Akan tetapi, perbedaan itu sendiri tidaklah dimaksudkan agar manusia diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan warna kulit, suku dan bahasanya. Perbedaan itu hanyalah merupakan petanda kekuasaan Allah, [2]-Dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 22: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.(Q.s. al-Rum: 22).[80]
Dengan demikian, perbedaan agama dan keyakinan tidak dapat dijadikan dalih oleh seorang muslim untuk menjauhi orang lain, maka seseorang yang berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang bukan non muslim atas dasar kemanusiaan, adalah perilaku etis yang sangat Islami, [3]-Dalam al-Qur’an di surat Lukman ayat 14-15 : “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku tempat kembalimu.” “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.s. Lukman: 14-15).[81]
Ayat ini, memerintahkan manusia agar tunduk dan patuh kepada keduanya, meskipun keduanya musyirik, setiap perintah yang datang dari keduanya harus dijalankan dengan penuh taat, kecuali perintah yang membawa kepada kemusyirikan dan kekafiran. Tidak ada alasan bagi seorang anak untuk mengucilkan kedua orang tuanya hanya karena berbeda agama dengannya.
[pergaulilah keduanya di dunia dengan baik] maksudnya penuh kearifan, memberikan indikasi bahwa kerjasama dan saling bantu dengan kaum non muslim hanyalah terbatas pada hal-hal yang menyangkut urusan dunia dan tidak menyangkut urusan keagamaan misalnya akidah dan ibadah (ritual).
Sehubung dengan itu, Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengadakan aliansi  dan hubungan persaudaraan dengan orang-orang kafir, yakni hubungan yang dapat mengancam eksistensi dan keamanan Islam, sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an di surah ali-‘Imran ayat 28 sebagaimana bunyi ayat:[82] “Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (Q.s. ali-‘Imran ayat 28).[83]
Al-Tabatabai, mengatakan persaudaraan yang dimaksud di sini adalah persahabatan rohaniah yang menyebabkan orang-orang mukmin menaati orang kafir dan meneladani serta adat istiadat mereka. Selanjutnya Muhammad Asad [seorang pemikir muslim] mengatakan bahwa pemimpin yang dilarang dalam ayat ini lebih banyak berkonotasi aliansi moral ketimbang aliansi politik, yaitu persaudaraaan yang menyebabkan orang-orang mukmin menolong mereka non muslim, dengan membuka rahasia-rahasia Islam. Dan lebih mendahulukan kepentingan orang-orang kafir dibanding kepentingan Islam sehingga mengakibatkan terancamnya kemaslahatan umat Islam, dan lebih jelasnya al-Qur’an menjelaskan sebagai bunyi ayat:[84] “Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan. (yaitu) diantara orang-orang yang kafir (orang-orang musyirik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Q.s. al-Maidah: 57).[85]
Dari ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang tidak boleh dijadikan pemimpin atau saudara / sahabat adalah mereka yang memendam rasa benci, dendam kusumat, antipati, dan permusuhan dengan Islam. Sedangkan mereka yang tidak memendam perasaan seperti itu. Maka tidak termasuk dalam larangan yang dimaksud. Jadi bersaudara dengan non muslim hanya sebatas pada hal-hal yang dianggap saling menguntungkan masing-masing pihak dan sama sekali tidak menyentuh masalah-masalah intern kedua bela pihak.
Dengan demikian, dampak buruk yang dikhawatirkan tentu tidak akan terjadi. Oleh karena itu membina hubungan dan kerjasama dengan orang-orang bukan Islam dalam bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, tehnologi, seni budaya, dan sebagainya dalam rangka menciptakan masyarakat yang damai, sejahtera dan berkeadilan, tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan dan juga dipraktekan oleh Rasulullah dan umat Islam sesudah beliau. Islam hanya melarang kerjasama dalam hal-hal yang bersifat destruktif atau yang mengarah kepada perbuatan dosa dan maksiat seperti tersirat dalam ayat berikut;[86] “…Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakannya) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (Q.s. al-Maidah: 2).[87]
Secara tersurat, ayat ini memang, ditujukan kepada orang-orang mukmin, secara intern, meskipun demikian, maksud yang tersirat dalam perintah itu dapat pula digunakan untuk membina kerjasama yang positif dengan orang-orang bukan Islam. Dengan demikian, setiap kerjasama dalam kebaikan umum, minimal, tidak membawa kepada perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat, akan tetapi dalam bidang keagamaan. Pada dasarnya tidak terdapat anjuran untuk membina hubungan dan kerjasama dengan orang-orang non muslim. Islam hanya menetapkan batasan-batasan atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan bila orang-orang Islam membina hubungan keagamaan dengan non muslim, sebagai berikut:[88] [a]-Prinsip Persamaan = Dalam Islam ada prinsip persamaan seluruh manusia, karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu (sama), dan ayah atau nenek moyang seluruh manusia adalah satu (sama) yaitu Adam. Jadi klaim keunggulan karena kesukuan, warna kulit, dan lain-lain tidak dibenarkan. Kelebihan seseorang atas yang lain pandangan Tuhan secara individual, hanyalah menurut kadar dan tingkat ketakwaan yang dapat dicapainya seperti digambarkan dalam al-Qur’an di surah al-Hujrat ayat 13 sebagaimana telah diuraikan di atas,[89] [b]-Prinsip Menghormati = Dalam Islam dianjurkan untuk menghormati agama atau kepercayaan orang lain serta tidak memaksakan Islam kepada mereka “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (Q.s. al-Baqarah : 256).[90], [c]-Prinsip Toleransi = Islam menganjurkan toleransi dalam beragama dan membantah anggapan bahwa Islam melegalisasi umatnya untuk menyebarkan agama dengan kekerasan, karena Nabi bukan pemaksa melainkan hanya menyampaikan ajaran Allah kepada manusia, setelah mendengar kemudian hati mereka tetap membatu (tidak mau masuk Islam), maka urusan mereka kembali kepada Allah.[91] “Dan jika tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksakan manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?.” (Q.s. Yunus: 99),[92] [d]-Prinsip Damai = Islam cinta perdamaian,[93] yang banyak diperaktekan kaum sufi,[94] dalam ajaran Islam perdamaian adalah yang utama sedangkan, perperangan merupakan hal yang terpaksa,[95] oleh karena itu al-Qur’an tidak membenarkan orang-orang Islam untuk melontarkan cacian dan penghinaan terhadap tuhan-tuhan yang disembah oleh orang-orang musyirik, karena mereka akan berbalik menghina dan mencaci maki Allah SWT, sehingga menodai keagungan Allah, sebab kedamaian adalah syarat dari kehidupan manusia yang baik. Lawannya adalah konflik “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…”. (Q.s. al-An’am: 108),[96] [e]-Prinsip Beragama = Dalam al-Qur’an pada wilayah ritual dan ibadah tertutup kerjasama dengan orang non muslim, untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, yang merupakan ciri utama identitas muslim sekaligus yang membedakannya dengan penganut agama-agama yang lain, Katakanlah: “hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang akan kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.” (Q.s. al-Kafirun: 1-6).[97]
Di dalam pembahasan selanjutnya untuk dapat memahami bagaimana tinjauan Islam tentang pluralisme, penulis akan memaparkan secara singkat pemikiran-pemikiran pluralisme para cendikiawan muslim;
Prof. Drs. Mohammad Dawam Rahardjo mengatakan bahwa kebebasan beragama berarti kebebasan untuk berpindah agama, berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama yang lain. Berpindah agama, menurut Dawam, tidak kafir, karena istilah kafir bukan berarti beragama lain, tetapi karena menentang perintah Tuhan.
Jalaluddin Rahmat menambahi bahwa kata kafir adalah sebuah lebel moral, bukan lebel aqidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui, ia beralasan bahwa kata kafir dan deviasinya di dalam al-Qur’an selalu didefenisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Di dalam al-Qur’an kata kafir tidak pernah didefenisikan sebagai kalangan non-muslim.[98]
Beranjak dari pembahsan banyak pula para pemikir Islam yang tidak setuju dengan pluralisme, mereka mengatakan bahwa dalam bahasa agama pluralitas (keberagaman) merupakan sunnatullah (ketentuan Allah). Akan tetapi pluralisme (penyamaan semua agama) dilarang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, surah al-Kafirun dijelaskan bahwa orang musyirikin Quraisy di Makkah meminta Nabi Muhammad untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun juga. Kemudian Allah menurunkan surah al-Kafirun, dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan. Dan juga terlihat dalam sejarah bahwa Nabi mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan kaisar beragama Majusi (penyembah api) untuk masuk Islam, sehingga Nabi mengirimkan surat kepada kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, dan juga mengirimkan surat ke kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi.
Beranjak dari kontroversi di atas, Abu Ala al-Maududi,[99] mencoba mengambil jalan tengah, beliau mengatakan bahwa mulai dari planet yang terbesar di langit sampai kepada butiran pasir yang paling kecil di bumi, adalah ciptaan Allah. Jika segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya tunduk kepada peraturan penciptanya (Allah). Ternyata dari segi ini, Islam adalah agama alam semesta, jadi matahari, bulan, bumi, adalah muslim dan udara, air, cahaya, gelap serta panas adalah muslim. Pohon kayu, batu dan binatang adalah muslim. Bahkan manusia yang tidak mengenal Tuhannya, ingkar kepada-Nya dan menyekutukan-Nya dengan sesuatu adalah muslim. Karena semua isi dunia ini tidak tumbuh, tidak menjadi besar dan bergerak kecuali menurut undang-undang Ilahi.
Walau pun pada dasarnya semua penghuni jagat raya ini adalah muslim, perlu juga difahami bahwa muslim yang sejati (muslim yang hakiki) adalah muslim yang menyempurnakan Islamnya dengan  mengambil keputusan bahwa ia tidak mau menyembah selain dari pada Allah dan mengarahkan hidupnya dengan mengikuti undang-undang syari’at-Nya. Dan sebaliknya orang-orang yang tidak mempekerjakan kekuatan akalnya untuk mengetahui siapa yang menciptakannya dan memberinya pendengaran dan penglihatan, lalu ia enggan untuk menyembah-Nya karena sombongnya dan enggan untuk mematuhi undang-undang syari’at-Nya, atau menyekutukan-Nya dengan yang lain, dan enggan untuk percaya kepada ayat-ayat-Nya yang menunjukan akan kekuasaan-Nya. Inilah orang-orang yang kafir.

E.     Pluralisme ditinjau dari Tata Negara
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi di dunia, satu bangsa dengan ratusan etnis, ratusan bahasa, dan bermacam-macam agama serta beranekaragam latar belakang budaya plus adat istiadat, yang membutuhkan pluralisme dengan moto Bhineka Tunggal Ika. Bhineka berarti berbagai macam perbedaan-perbedaan Tunggal Ika berarti bersatu dalam kesatuan. Dengan moto inilah dari keragaman agama tersebut terwujud kerukunan umat beragama.[100] Dan pancasila menjadi landasan yang kukuh bagi pengembangan pluralisme dan toleransi beragama di Indonesia,[101] maksudnya pancasila merupakan titik temu di antara berbagai kelompok agama yang berbeda. Menyadari bahwa adanya pluralitas dalam berbagai segi, termasuk segi politik adalah merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan di Indonesia. Maka sistem politik yang sebaiknya di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam tetapi sistem yang juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat.
Pemerintahan yang menerapkan ala demokrasi, yang memerlukan adanya aspirasi dan kepentingan yang saling berbeda untuk dirujukkan, jika pluralitas dipandang sebagai sumber dari perbedaan dan pertentangan, maka pluralitas itulah yang justru dicari dan dibutuhkan untuk dijadikan sebagai bahan baku demokrasi.[102]
Dalam perspektif al-Qur’an masyarakat manusia tercakup dalam terma umat. Umat adalah sekelompok masyarakat, pemakaian terma umat dinisbahkan juga untuk ikatan politik yang menyatukan rakyat dalam ikatan negara. Upaya penciptaan interaksi yang harmonis antara pemegang kekuasaan dengan penganut agama yang didasarkan prinsip-prinsip demokrasi dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, tidak dihalangi untuk menyatakan pendapat serta bebas berorganisasi dan beragama.
Dr. Anis Malik Thoha[103] (seorang intelektual yang cerdas) mengatakan bahwa pluralisme agama sebetulnya adalah “ajaran demokrasi dalam beragama” yang lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab secara nasab, pluralisme agama ini adalah “anak sah” yang terlahir dari “rahim” demokrasi. Jadi pluralisme pada umumnya dan pluralisme agama pada khususnya, adalah sebuah kekuatan besar untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga keputusan-keputusan yang diambil pemerintah tidak merujuk dari kacamata agama yang dianut penguasa atau golongannya, tetapi kemaslahatan bersama. Di sini terlihat bahwa kerukunan beragama mempengaruhi tata negara (politik) sebagaimana yang dikatakan oleh K.H. M Dahlan sewaktu menjabat menteri agama beliau menyampaikan pada acara musyawarah antar agama yang pertama kali pada tanggal 30 November 1967 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di Jakarta. K.H.M. Dahlan mengemukakan: Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah syarat-syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ... oleh karena itu, kami mengharapkan sungguh adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat beragama menciptakan iklim kerukunan beragama ini. Sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar terwujud.[104]
Frans Magnis Suseno [seorang teolog Katolik terkenal asal Jerman yang telah menjadi warga Indonesia] sebagaimana dikutip Dr. Phil Zanul Fuad, M.A mengatakan bahwa pluralisme adalah syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu.[105] Lebih lanjutnya Subkhan menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana, di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita berbelanja, tetapi, seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Kata kerukunan pada mulanya adalah bahasa arab, yaitu; ruknunberarti tiang, dasar, sila, jamak ruknun adalah arkaan artinya suatu bangunan sederhana yang terdiri dari berbagai unsur. Dengan demikian kerukunan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling menguatkan. Oleh karena itu kesatuan tidak dapat terwujud jika ada di antara unsur tersebut yang tidak berfungsi.[106]
Kerukunan umat beragama adalah tidak saling mengganggu antara kelompok-kelompok agama yang berbeda-beda. Dengan sikap pluralisme masyarakat menyadari bahwa negara adalah milik bersama dan menjadi tanggung jawab umat beragama, karena itu kerukunan umat beragama merupakan pilar penting untuk membangun, menjaga serta melestarikan persatuan nasional atau keutuhan negara.
Alamsyah Ratu Perwiranegara [Menteri Agama 1978-1983] mengatakan bahwa persatuan nasional akan tetap terjaga dengan mengembangkan konsep trilogi kerukunan, yakni kerukunan intern agama (antara sesama penganut agama), antar umat beragama (lintas agama) dan antara umat beragama dengan pemerintah yaitu tiap undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau oleh lembaga negara tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh warganya, tidak menghalang-halangi kegiatan keagamaan tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasan ibadah agama dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat. Di samping trilogi tersebut itu ada lagi kerukunan yang perlu dikembangkan yaitu kerukunan antara pemuka umat beragama dengan pemerintah. Untuk mengembangkan trilogi kerukunan tersebut harus dilakukan hal-hal sebagai berikut: [1]-Musyawarah = Abdul Kadir Karding mengatakan bahwa bermusyawarah atau berdialog sangat penting dan merupakan solusi dari permasalahan aksi anarkis yang mencoreng kerukunan beragama.[107] Kata dialog berasal dari kata Yunani dia-logos”, artinya bicara antara dua pihak, lawannya monolog” yang berarti bicara sendiri”. Jadi dialog ialah percakapan antara dua orang (atau lebih) dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Berdialog antar umat beragama merupakan kebutuhan hakiki manusia sebagai makhluk sosial dan juga merupakan kunci membangun persahabatan yang tulus serta merupakan jalan yang paling sesuai untuk diambil sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian. Berdialog di sini bukan soal kalah” atau menang” dan bukanlah meleburkan agama-agama menjadi satu agama (atau menyatukan agama-agama dalam satu agama baru) melainkan untuk menumbuhkan saling pengertian, saling menghargai, menjalin hubungan persaudaraan dan menciptakan keharmonisan. Keputusan yang diambil berdasarkan kepada kesepakatan bersama sehingga tidak ada diantara anggota masyarakat yang merasa ditekan atau dikurangi haknya. Dialog juga dimaksud untuk menyusun suatu rencana kerja sama dengan isi cara yang di sepakati bersama dan mencari titik temu agama-agama, [2]-Kesadaran Nasionalisme = Nasioanalis berasal dari kata nation yang dipadankan dengan bangsa” dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian;  Pertama, pengertian antropologis serta sosiologis adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah. Kedua, pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi. Paham nasionalisme merupakan pilar pemersatu antar umat beragama yang akan menumbuhkan rasa persaudaraan antara sesama anak negeri. Rasa senasib dan sepenanggungan sesama bangsa Indonesia tidak lagi dilihat dari perspektif agama yang dianut tetapi melebur dalam satu rasa kebersamaan nasional (semangat membangun bangsa yang mandiri), sehingga pertolongan terhadap bencana alam, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya tidak lagi hanya berpijak kepada misi atau dakwah bagi pemeluk agama, melainkan suatu kesadaran nasionalisme dan kemanusiaan. Sebagaimana dalam sahir sering diungkapkan: Hidup hanya sekali-Gunakan untuk mengabdi-Kepada Ilahi Robbi-Dan membangun negeri-Agar tidak menyesal nanti-Surga tujuan abadi-ALLAHU AKBAR!!!-Merdeka!!!,[108] [3]-Wawasan Multikultural = Menanamkan wawasan multi kultural pada segenap unsur dan lapisan masyarakat  yang akan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang hasilnya kelak diharapkan terwujud masyarakat yang mempunyai kesadaran yang tidak saja mengakui perbedaan, tetapi mampu hidup saling menghargai, menghormati secara tulus, komonikatif dan terbuka, tidak saling curiga, memberi tempat terhadap keragaman keyakinan, tradisi, adat maupun budaya dan sikap tolong menolong. Untuk mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat bisa malalui jalur pendidikan, penyuluhan, riset, media massa dan sebagainya, [4]-Sikap Toleransi = Halim dalam artikel yang berjudul “Menggali Toleransi, menyatakan “Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran”. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan. Jadi hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman. Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil, kadang-kadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia, untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan, toleransi adalah hal yang penting dalam kehidupan masyarakat plural yang demokratis untuk meningkatkan kepedulian sosial dan memperkuat ketahanan sosial, sebagaimana Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 12/HUK/2006 tentang model pemberdayaan pranata sosial dalam mewujudkan masyarakat berketahanan sosial, dikemukakan pengertian ketahanan sosial masyarakat adalah kemampuan komunitas mengatasi resiko akibat perubahan ekonomi dan politik. Suatu komunitas memiliki ketahan sosial bila: mampu melindungi secara efektif anggotanya termasuk individu dan keluarga yang rentan; mampu melaksanakan investasi sosial dalam jaringan sosial; mampu mengembangkan mekanisme yang efektif dalam mengelola konflik dan kekerasan; serta mampu memelihara kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial.
Berdasarkan pengertian ketahanan sosial masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, berarti ada empat indikator yang menentukan ketahanan sosial suatu komunitas, yaitu meningkatnya: (1) kemampuan masyarakat dalam melindungi warganya yang rentan atau terkena masalah; (2) partisipasi masyarakat dalam organisasi sosial; (3) kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mengelola konflik sosial dan tindakan kekerasan; dan (4) kemampuan masyarakat dalam memelihara kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial. Dengan demikian untuk mengukur ketahanan sosial suatu komunitas harus berorientasi kepada keempat indikator tersebut. Apabila suatu komunitas tidak mampu melindungi secara efektif anggotanya termasuk individu dan keluarga yang rentan, dan tidak mampu mengelola konflik menjadi energi kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini menunjukkan lemahnya ketahanan sosial suatu komunitas. Untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat majemuk atau plural yang terdiri dari beragam suku bangsa, budaya, dan agama, diperlukan toleransi, yaitu sikap : (1) saling menghargai perbedaan; (2) saling menghormati satu dengan yang lain; (3) adanya rasa kepedulian sosial antara anggota suatu komunitas; dan (4) terjalinnya kerja sama atas dasar kesadaran untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan yang terjadi dilingkungannya. Dengan terciptanya kondisi yang demikian niscaya tidak akan terjadi konflik antar etnis, kerusuhan atas nama agama, dan mati kelaparan di tengah komunitas yang rata-rata tingkat ekonominya memadai.[109] Untuk itu toleransi perlu dikembangkan, dan cara mengembangkan toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu; pendekatan sistem sosial dan sistem budaya.
Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka. Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik diantara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.
Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Nilai-nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat multi etnis yang menjadi acuan perilaku yang terpola, melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat dan eksistensi NKRI, [5]-Membentuk forum = Suatu contoh forum yang mungkin patut ditiru, yaitu Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Yogyakarta yang anggotanya terdiri dari semua unsur agama, tidak hanya terbatas pada agama yang resmi, tetapi termasuk agama yang tidak resmi menurut pemerintah Republik Indonesia, seperti Konghucu dan aliran kepercayaan, kerukunan umat beragama merupakan bagian penting untuk menciptakan kerukunan nasional, mengabaikan persoalan ini akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia, sekaligus mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah sebagai institut negara yang telah diberikan kewenangan untuk mengatur tata sosial masyarakat, berkewajiban untuk menyiapkan perangkat hukum yang dapat mendukung agar kerukunan umat beragama tetap terjaga, sebagaimana tercantum pada pasal 2 bab II dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadah yang berbunyi sebagai berikut; Pasal 2 => Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan pemerintah.[110]

BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG LATAR BELAKANG PLURALISME DAN KAITANNYA DENGAN TATA NEGARA
A.  PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Menurut Abdurrahman Wahid,[111] pluralitas dalam ras, etnis, kultur, terutama agama adalah sesuatu ketentuan Allah (taqdir) yang tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, menjalin kerja sama dan saling mengasihi antarsesama pemeluk agama adalah suatu keniscayaan, bahkan menurut Abdurrahman Wahid tidak cukup dengan toleransi saja, karena istilah toleransi hanya sebatas hidup berdampingan secara damai, tetapi antara satu dan yang lain tidak tidak saling pengertian dan tidak merasakan kebersamaan.
Abdurrahman Wahid sebagai pemikir politik dan agama, dalam membahas pluralisme berangkat dari konteks demokrasi, yaitu persamaan hak dan status dari setiap warga negara di depan hukum, tanpa melihat perbedaan etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa.[112] Oleh karena itu Abdurrahman Wahid selalu menunjukkan sikap positif terhadap non muslim, dan dia memiliki hubungan yang erat dengan mereka. Menurutnya[113] tidak semua umat non muslim mempunyai pandangan buruk mengenai umat Islam.
Abdurrahman Wahid,[114] menegaskan bahwa untuk mengikat persatuan haruslah mengedepankan persamaan (sebagai warga bangsa yang satu), toleransi, keterbukaan, dari pada perbedaan dan perseteruan, karena Islam adalah agama yang menekankan toleransi, kasih sayang, tidak memandang suku, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya dalam masyarakat. Menurutnya, Islam adalah ajaran yang mengakui bahwa seluruh manusia di mata Allah adalah sama.[115] sebagaimana amanat Allah untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan bagi semua, apa pun agama dan keyakinannya, terutama bagi kalangan rakyat yang paling tak berdaya.[116]
Abdurrahman Wahid adalah cendikiawan yang selalu melakukan terobosan-terobosan pemikiran yang kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya ini terlihat nyata dalam perumusan tentang konsep Ahlu Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) yang berbeda dengan mainstream pemahaman masyarakat. Doktrin Aswaja menurutnya merupakan serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan bermasyarakat baik berupa pandangan idiologis maupun orientasi kehidupan, disamping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Oleh karena itu bidang ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah mencakup beberapa segi, antara lain yaitu: [1]-Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan, [2]-Pandangan tentang ilmu, pengetahuan dan teknologi, [3]-Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat, [4]-Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat, [5]-Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat dan, [6]-Asas-asas internalisasi dan sosiologi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin yang formal saat ini.[117]
Diantara enam poin tersebut ada satu hal yang sangat mendasar, yang kemudian mewarnai pemikiran Abdurrahman Wahid berikutnya dan sekaligus juga diperjuangkannya dengan konsisten, yaitu tentang hubungan individu dan masyarakat, ia mengemukakan, karena tingginya kedudukan manusia dalam kehidupan semesta, maka manusia sebagai individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dilanggar tanpa meremehkan arti dirinya sebagai manusia.
Sampai di sini terlihat latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme yaitu hendak mentransformasikan sikap toleransi dan kerjasama atas keberagaman kehidupan yang luas. Lebih jauh dari itu, ia sesungguhnya juga seorang liberal dalam arti memiliki kecendrungan pemikiran bebas, tidak mau terkungkung oleh batasan apapun dan oleh siapapun.
Jadi pola pemikiran keagamaan universalnya itu secara aktif ia artikulasikan dalam perilaku politiknya. lebih dari itu, ia juga ingin tampil sebagai fiqur nasional yang tidak lagi mempersoalkan batasan etnis dan agama. Itulah sebabnya wawasan pemikiran pluralisme yang dikembangkannya sangat menghindari segala jenis formalisasi Islam dalam dimensi negara kebangsaan. Dari sinilah dapat dipahami munculnya gagasan pluralisme yang mengantarkannya dikenal sebagai “bapak pluralisme”.
Abdurrahman Wahid berbicara mengenai pluralisme lebih banyak diperaktekkan dan dibicarakannya dari pada membahas atau menuliskannya dalam perspektif teologis, dengan menyuarakan prinsip-prinsip toleransi, kasih sayang, dan rasa hormat terhadap martabat manusia. Sehingga Mark R. Woodward mengatakan, bagi siapa pun yang benar-benar punya kepedulian terhadap masalah yang muncul akibat keragaman etnis, agama dan budaya, dapat belajar mengenai banyak hal dari Abdurrahman Wahid.[118] Abdurrahman Wahid menekankan Allah sebagai Mahakasih dan Mahasayang. Abdurrahman Wahid menempatkan Islam sebagai  rahmatan lil alamin, bukan rahmatan muslimin karenanya, benang merah pemikiran Abdurrahman Wahid adalah subtantif dan inklusif, yang mengedepankan keadilan sebagai dasarnya, jadi demokrasi datangnya dari mana pun misalnya, dari Timur atau Barat, yang terpenting adalah keadilan,[119] ia menekankan bahwa dukungan Islam terhadap keadilan, perdamaian, dan belas kasih. Ia juga menuturkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri Indonesia antara lain lewat budaya yang di sampaikan secara damai.[120]
Para ahli Islam di Barat sering manyatakan bahwa tradisi tekstual Islam begitu kaya sehingga setiap teks selalu ada kontekstualnya,[121] begitu juga Abdurrahman Wahid melihat Islam adalah multi wajah, masing-masing orang punya pemahaman berbeda-beda tentang Islam.[122] Ia melihat wajah Islam di Indonesia sebagai Islam warna-warni” yang harus dilestarikan tanpa ada upayamenebang” pertumbuhannya baik dengan alasan pembelaan terhadap agama”. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa muslim Indonesia harus menerapkan merk Islam yang moderat dan toleran dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, dimana muslim dan non muslim adalah sama”,[123] karena menurutnya, semua manusia sama di hadapan Allah SWT, terlepas dari apakah setatus dan posisi mereka di dunia.[124]
Takwa atau ketakwaan bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang-orang yang betul-betul takut kepada Tuhan, dia telah bertakwa. Tidak peduli muslim atau bukan,” ujar Abdurrahman Wahid. Dan setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormati”,[125] karena Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh dengan tidak memperdulikan asal usul etnisnya. Abdurrahman Wahid melihat agama sebenarnya memberikan penghormatan tertinggi kepada derajat manusia, sehingga ia tidak setuju kalau orang menderita busung lapar tidak jadi masalah, tetapi pembangunan tempat-tempat ibadah tidak boleh berhenti.[126] Hal serupa di gambarkan Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuti dalam tataran kepemimpinan mengatakan:[127] “Kebijaksanaan imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”
Maksudnya penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri, penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat. Abdurrahman Wahid menegaskan apakah itu model Barat atau model Islam tidak perlu pokoknya adalah kemaslahatan umum, walau pun presidennya non muslim sekalipun.[128]
Abdurrahman Wahid bukanlah meleburkan agama-agama menjadi satu agama atau menyatukan agama-agama dalam satu agama baru (singkritisme). Singkritisme ialah menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Seperti New Age Religion (agama masa kini) yang berdiri dari wujud nyata dari perpaduan antara praktek yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam dan mistik Kristen. Abdurrahman Wahid hanya bermaksud untuk menumbuhkan saling pengertian, saling menghargai, menjalin hubungan persaudaraan dan menciptakan keharmonisan.
Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa belakangan ini pluralisme agama diartikan secara amat berlebihan sebagai paham menyamakan semua agama, pluralisme tidak lagi dimaknai kemajemukan agama. Kemajemukan adalah sebuah penomena yang tidak mungkin dihindari dalam suasana yang majemuk ini, ditambah lagi klaim kebenaran (truth claim) dan watak missioner setiap agama, misalkan Kristenisasi atau pun Islamisasi menjadikan umat beragama sebagai kelompok yang sangat rentan dengan konflik, dan lebih tragisnya, konflik tersebut disakralkan karena membawa legitimasi atas nama agama, padahal agama tidak mentolerir, bahkan berupaya mencegah orang-orang yang berbuat kerusakan dan pertumpahan darah,[129] senada dengan itu Nurcholish Madjid mengatakan bahwa sungguh agama masa lalu lewat pluralisme telah menyumbangkan perdamaian, maka penganut agama harus menerima pluralisme.[130]
Pluralisme Abdurrahman Wahid dapat terlihat ketika ia menanggapi sebuah kasus. ketika muslim radikal membakar sebuah gereja setelah orang muslim radikal tersebut menerima selebaran yang mereka pandang berisi penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dalam tanggapanya, ia berkata NU menegaskan kembali sikapnya yang menentang segala bentuk konversi agama secara paksa”. Para pengurus NU juga menyerukan agar organisasi pemudanya menjaga gereja-gereja lain di wilayah yang sama agar tidak di bakar massa, sementara itu, penduduk desa di sekitar wilayah itu membagikan 25 ribu bungkus nasi untuk anak-anak muda yang menjaga gereja-gereja. Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa ini merupakan salah satu contoh sikap toleransi, yang mencerminkan telah berakarnya paham pluralisme dan penghormatan akan keragaman,[131] sehingga mendorong tumbuhnya pluralisme dan toleransi yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan tradisi secara kreatif.[132]

B.  LATAR BELAKANG PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Karena menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar, karena orang yang memandang ajarannya bersifat absolut, oleh karna itu ia merasa agama yang dianutnyalah yang paling benar sehingga muncul sikap untuk memerangi agama yang lain yang dianggapnya sebagai agama yang salah (sesat).
Sikap keagamaan dalam penjelasan di atas disinyalir sebagai faktor penyebab timbulnya konflik, dikarenakan sikap penganut agama yang memandang ajarannya bersifat absolut, sikap fanatik, dan sikap buruk sangka yang selalu melekat dalam kehidupan umat beragama serta kecemburuan sosial antara kelompok agama yang mayoritas dengan agama yang minoritas. Dalam hal ini sebenarnya Abdurrarahman Wahid ingin menyempurnakan pemikiran-pemikiran para pembaru Islam sebelumnya, seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, profesor Harun Nasution, dan Munawir Sjadzali [Menteri Agama 1983-1988 dan 1988-1993].
Pemikiran seorang Abdurrahman Wahid tidak lahir begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh kondisi dan peristiwa yang terjadi baik yang secara intern maupun eksternal. Mulai dari faktor sosial budaya, situasi dan kondisi dimana tokoh tersebut berada. Perjalanan intelektual Abdurrahman Wahid yang tidak hanya berskala nasional tetapi juga internasional. Hal ini merupakan satu bukti bahwa kualitas intelektualnya beralasan dan banyak dipengaruh ilmuan-ilmuan yang terkemuka.
Demien[133]  mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid tidaklah plural begitu saja sejak lahir. Tapi ada banyak faktor yang membangun itu”, salah satunya adalah pengalaman Abdurrahman Wahid saat masa remaja belasan tahun yang menyaksikan perdebatan Undang-undang (1956-1959) mempunyai pengaruh formatif pada keyakinannya tentang hubungan Islam dengan Negara, oleh karena itu Abdurrahman Wahid berpikiran bahwa untuk meretas konflik sosial yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Dalam masyarakat plural sangat diperlukan pluralisme dengan harapan dapat meminimalisir berbagai akses-akses negatif dari pluralitas agama, dan agar bangsa kita yang heterogen dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia,[134] sehingga dapat mendorong terwujudnya negara yang makmur, aman dan sejahtera.
Disamping itu keluarga Abdurrahman Wahid sering memperkenalkannya dengan berbagai kelompok masyarakat, sehingga lingkungan pergaulannya meliputi ulama, ulama Muhammadiyah modernis, dan sebagian kelompok ulama NU terkemuka serta orang-orang Eropa. Bahkan pada waktu mudanya, Abdurrahman Wahid terus terlibat, terpengaruh oleh berbagai aliran pemikiran, baik nasional maupun internasional, dia pernah bertemu dengan Uskup Agung Oscar Camara di Brazil dan pemimpin lain-lainya, sehingga dia akrab dengan teologi liberal seperti Leonardo Boff.[135] Dari sinilah asal mula kecintaannya kepada musik klasit Eropa.
Greg Barton mengatakan kalau memotret pemikiran Abdurrahman Wahid tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gurunya saat ia nyantri di Pondok Pesantren Tegal Rejo Magelang Jawa Tengah, yaitu KH Khudhori, beliaulah yang banyak mewarnai model keberagaman Abdurrahman Wahid, karena KH Khudhori ini unik, di pesantrennya semua ada; kejawen, musik, dan sebagainya. Kyai ini bisa menyatukan kultur santri dan abangan, makanya membaca Abdurrahman Wahid tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kyai ini.
Disamping itu pemahaman Abdurrahman Wahid yang menghormati pluralisme tidak terlepas ketika ia belajar Islam di Pesantren Tebuireng, lalu berkelana di beberapa pesantren di Jawa, terus ke Baghdad belajar Sosialisasi Arab dan di Mesir belajar Nasionalisme Arab serta ketertarikannya membaca buku-buku Merx, Lenin, sehingga ia menyimpulkan bahwa Islam adalah jalan hidup yang saling belajar dan saling mengambil idiologi non agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.
Abdul Moqsith Ghazali, melihat Abdurrahman Wahid sebagai sosok santri, dan santri itu dididik berpikir secara plural oleh tradisi fikih. Sebab, tak mungkin ada pandangan yang tunggal di dalam fikih, karena itu, orang yang ahli fikih seperti Abdurrahman Wahid, tak mungkin menganut satu konsep kebenaran absolut. Menurutnya itulah yang pertama kali mendidik Abdurrahman Wahid untuk tidak memutlakkan pandangannya. Selain fikih, Abdurrahman Wahid juga banyak belajar ilmu-ilmu lain.[136]
Pemikiran Abdurrahman Wahid banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Barat dan Timur tengah melalui buku-buku yang dibacanya, ditambah lagi ketika ia di Baghdad dia mendapat pendidikan yang skuler dan bergaya Barat di sini dia mempelajari sastra dan budaya Arab serta filsafat dan pikiran sosial Erofa. Pada saat itulah Abdurrahman Wahid meyakini bahwa Islam harus ditafsir ulang, dan diperlukan perubahan pengajaran Islam agar selaras dengan ilmu dan pengetahuan modern.
Dari paparan di atas John L. Esposito & John O. Voll[137] mangatakan Abdurrahman Wahid mungkin bisa disebut sebagai modernis Islam atau neo modernis, yaitu meloncat penafsiran lama, dan langsung mengarah pada dua sumber materil Islam, al-Qur’an dan al-Hadits untuk merumuskan respon-respon baru terhadap masalah-masalah dan isu-isu modern.[138]
Selanjutnya Abdurrahman Wahid mentranformasikan pemikiran-pemikiran para tokoh Barat atau pun Timur tengah tersebut kedalam suatu konsep baru yang didasarkan kepada realitas budaya bangsa Indonesia, yaitu melakukan usaha Islamisasi disegala lini kehidupan negara tanpa harus ada usaha untuk menampilkan formalisasi Islam, Abdurrahman Wahid beralasan bahwa berdirinya negara Indonesia lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa bukan hanya sekedar faktor idiologi Islam, ia mengkhawatirkan bahwa penampilan yang berlebihan bisa memicu kecemburuan umat lain bangsa Indonesia. Abdurrahman Wahid juga menjembatani dunia pemikiran kalangan tradisional dan pemikiran modern, ia juga menggabungkan pemikiran dan kultur tradisional Islam yang terbaik dengan pemikiran Barat modern yang terbaik.
Abdurrahman Wahid juga menegaskan bahwa warga negara Indonesia harus mengembangkan sikap keterbukaan dan toleransi terhadap kemajemukan Indonesia. Untuk menjelajahi pemikiran Abdurrahman Wahid perlu kiranya kita melihat lebih dalam sebagaiman yang disampaikan Panataran Simajuntak SH,I, M.Hum [Mantan Sekjen IPNU Medan] mengatakan bahwa pluralisme yang diusung oleh Abdurrah- man Wahid meninggalkan kesan “Janganlah menjadikan perbedaan/kemajemukan menjadi penghalang mitra bekerja dan berusaha untuk membangun bangsa, tetapi marilah kita jadikan perbedaan dengan sikap positif untuk keutuhan dan kemajuan NKRI” karena dengan demikian akan menghantarkan negara kita kepada aman, makmur dan sejahtera.[139] Hal ini makna kontekstual dari ungkapan Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa semangat pluralisme itu merupakan syarat mutlak agar negara tetap eksis sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan, persamaan dan kerjasama guna mencapai kerukunan dalam kebihinekaan.
Sejak masa-masa orde baru gerakan Islam sering disenyalir sebagai gerakan ekstrim yang mencoba menggoyahkan sendi dasar negara Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu resvon dari pluralisme Abdurrahman Wahid untuk memperbaiki citra Islam itu sendiri dan selanjutnya untuk melahirkan sebuah kedewasaan baru baik bagi umat Islam ataupun masyarakat luas, sehingga masyarakat belajar untuk hidup dalam masyarakat pluralistik tidak tahu agama saja. Oleh karena itu dalam masyarakat plural sangat diperlukan pluralisme guna meminimalisir berbagai akses-akses negatif dari pluralitas (keberagaman) agama sehingga dapat mendorong terwujudnya kerukunan umat beragama.

C.  ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DAN KAITANNYA DENGAN TATA NEGARA
Melihat Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan kaitannya dengan tata negara (politik) dapat kita mulai dari latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme. Dengan memperhatikan paparan pluralisme Abdurrahman Wahid di atas, perlu diperhatikan dua hal yang mendasar yaitu;
Pertama, Indonesia merupakan bangsa yang mempunyai tingkat heterogen tertinggi di dunia, satu bangsa dengan ratusan etnis, ratusan bahasa, dan bermacam-macam agama serta beraneka ragam budaya plus adat istiadat. Menyadari bahwa adanya pluralitas dalam berbagai segi termasuk sistem pemerintahan, merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan di Indonesia, maka sistem politik yang sebaiknya di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam tetapi sistem yang juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat.
Kedua, Islam adalah rahmat bagi seluruh isi alam, termasuk mereka yang tidak beragama Islam tanpa harus memeluknya sebagai agama, sebagaimana terurai dalam al-Qur’an sebagai berikut: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu. melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.s. al-Anbiyaa’: 107).[140]
Abdurrahman Wahid menekankan rasa kesatuan dan kesamaan kebangsaan dari pada kesamaan kepercayaan (Iman). Tak hanya itu, Abdurrahman Wahid juga lebih menekankan kepada keadilan, kasih timbal balik dan kepekaan terhadap penderitaan sesama dari pada ritual dan aturan yang ketat.
Abdurrahman Wahid adalah tokoh plural yang banyak mengulas tentang pluralisme yang tertuang kedalam buku-buku, artikel dan perilakunya sehari-hari, yang akhirnya beliau di sukai umat berbagai agama. Jadi pluralisme yang diusung oleh Abdurrahman Wahid bertujuan untuk penyatu dan perekat bangsa, karena semakin mengeratnya nilai pluralisme yang diyakini seseorang, dengan itu muncul sikap menghormati keyakinan agama lain sehingga mampu berhubungan satu sama lain serta bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah bersama tanpa melihat perbedaan-perbedaan, yang pada akhirnya akan menciptakan kerukunan antar agama, dengan demikian eksistensi keutuhan NKRI pun tetep berjaya.
Namun dalam menjalin sikap pluralisme di Indonesia hendaknya kokoh imannya terhadap agama yang dianutnya agar tidak menjadi masalah, tapi bagi orang yang masih lemah pemahamannya terhadap agama hendaknya dalam pergaulannya dengan umat beragama sehari-hari harus dibatasi.
Dari paparan di atas sederhana penulis menyimpulkan bahwa yang melatar belakangi gagasan Abdurrahman Wahid tentang pluralisme adalah mendambakan terwujudnya kerjasama positif dalam bidang sosial antara segala etnis, suku, dan agama, guna menyelamatkan Indonesia dari ancaman kekerasan dan perpecahan, sehingga NKRI tetap utuh selama-lamanya.
Dari paparan demi paparan Abdurrahman Wahid yang terurai di atas, penulis menganalisis keterkaitannya dengan tata negara (politik). Dalam hal ini penulis berkeinginan menggambarkannya dalam bentuk tebel mudah-mudahan ini dapat memudahkan pembaca untuk memahaminya. Sebagai berikut:

Dari gambar di atas terlihat bahwa Indonesia dihuni oleh masyarakat yang plural, dalam tatataran kemajemukan dapat dibagi dua; pertama, pluralitas umum yaitu kemajemukan etnis, budaya dan bahasa dan lain-lain. Kedua, pluralitas khusus yaitu pluralitas agama yaitu Islam, Kristen, Hindu dan konghucu. Dimana pluralisme ini sangat mendukung sistem demokrasi. Karena dalam mendirikan sistem demokrasi memerlukan kemajemukan tersebut, karena kemajemukan itulah yang menjadi objek dari demokrasi dengan kata lain demokrasi membutuhkan pluralisme terutama dalam pendapat untuk mendapatkan alternatif yang terbaik dari kemajemukan tersebut.
Kemudian pluralisme yang menjadi pusat perhatian di sini adalah pluralitas agama dimana agama sangat memilki peranan yang sangat berpengaruh dalam hubungan sosial masyarakat, bisa saja berpotensi positif yaitu mendidik masyarakat berakhlak yang baik, namun bisa juga berpotensi konflik atas nama agama bahkan bisa mengancam keutuhan negara republik Indonesia paling tidak dapat mengotori kemakmuran NKRI. Sebagaimana banyak tercatat dalam catatan sejarah. Maka dalam menyikapi dan kekawatiran inilah Abdurrahman Wahid berusaha menanamkan paham pluralisme dikalangan masyarakat Indonesia, maksudnya menanamkan kesadaran akan pentingnya sikap positif terhadap pluralitas etnis, budaya dan agama untuk menjaga kesatuan NKRI. Menurut Abdurrahman Wahid dengan pluralisme akan membuahkan sikap toleransi dan fair, yaitu tidak mengintervensi, dan merasa tenang untuk hidup bersama orang lain yang berbeda kultur dan orientasi keagamaan.
Disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, termasuk anjuran Islam sendiri sesuai dengan pemahamannya terhadap al-Qur’an dan al-Hadis Rasulullah SAW sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa Abdurrahman Wahid dengan gagasan pluralisme yang diusungnya ingin menjadikan pluralitas suku, etnis, bahasa, dan agama di Indonesia menjadi sebuah keindahan (ciri khas) dan aset bangsa yang perlu dipelihara dan dijaga agar Indonesia multikultural, multitalenta serta  berkualitas yang diperhitungkan dunia.

BAB V PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari paparan diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa perbedaan pendapat dikalangan ilmuan tentang memahami pluralisme adalah di karenakan perbedaan mereka dalam memandang pluralisme, ada yang memandangnya hanya sebatas sikap toleransi dan sebagian yang lain memandangnya lebih dari itu yaitu menyamakan semua agama.
Latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme adalah didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut beliau, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar, karena orang yang merasa agama yang dianutnyalah yang paling benar akan muncul sikap untuk memerangi agama yang lain yang dianggapnya sebagai agama yang salah (sesat) yang merupakan faktor penyebab timbulnya konflik, Oleh karena itu Abdurrahman Wahid berpikiran bahwa untuk meretas konflik sosial yang bernuansah SARA dalam masyarakat plural sangat diperlukan pluralisme dengan harapan dapat meminimalisir berbagai akses-akses negatif dari pluralitas agama sehingga dapat mendorong terwujudnya negara yang makmur, aman dan sejahtera.
Disamping itu, lahirnya gagasan Abdurrahman Wahid tentang pluralisme juga berkaitan dengan tata negara, dimana bila pemimpin pemerintah telah tertanam sikap pluralisme, maka setiap keputusan-keputusan yang dikeluarkan akan terhindar dari nepotisme kelompok, maksudnya tidak hanya kemasalahatan satu etnis atau satu kelompok saja. Akan tetapi kemaslahatan untuk semua kelompok atau golongan.
Begitu juga dengan hubungan diantara masyarakat, bila sikap pluralisme telah tertanam dalam masyarakat, maka tidak mustahil kerjasama di kalangan masyarakat yang pluralitas akan berjalan efektif yang mengarah kepada percepatan pembangunan bangsa sehingga NKRI tetap eksis dan semakin berjaya.

B.  Saran : [1]-Sudah saatnya bagi kita bersikap pluralisme yakni jangan mengganggu dan mencela agama-agama selain Islam agar sebaliknya kita tidak diganggu dan dicela pula, sehingga NKRI tetap terjaga, karena Islam adalah agama yang disempurnakan (penyempurna agama-agama sebelumnya), oleh karena itu kita harus menghormati terhadap agama-agama yang di ciptakan Allah terlebih dahulu, [2]-Sudah saatnya bagi pemuka agama di Indonesia menekankan peningkatan kualitas keimanan pemeluk agama dari pada peningkatan jumlah pemeluk agama, [3]-Dan tak lupa juga kepada mahasiswa dan pembaca, kiranya hasil penelitian ini dijadikan asumsi dasar bagi usaha penelitian lebih lajut, dengan demikian, sangat tepat manakala hasil kajian ini ditindak lanjuti dengan penelitian-penelitian yang lebih spesifik, sehingga pada akhirnya dapat dihasilkan potret pembahasan yang lebih detail.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim, [2]-Ali, Ihsan & Fauzi, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, [3]-Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1999, [4]-Cawidu, Harifuddin, Konsep Kurf dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, [5]-Dault, Adhyaksi, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005, [6]-Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989, [7]-Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha  Putra, 2002, [8]-Departeman Agama R.I, Paham-Paham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2007, [9]-Departemen R.I, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007, [10]-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, [11]-Esposito, John L. & Voll, John O., Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Grafindo Persada & Murai & Kencana, 2002, [12]-Fuad, Zainul, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, Bandung: Citapustaka Media, 2007, [13]-Hasan, Muhammad Thahah, Ahlussunnah wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005, [14]-Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah Press, 2007, [15]-Hanifah, Abu, Toleransi dalam Masyarakat Plural: Memperkuat Ketahanan Sosialhttp://www.depsos.go.id (13 Januari 2011), [16]-Jaiz, Hartono Ahmad, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2010, [17]-Madjid, Nurcholish, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Pramadani, 1998, [18]-Al-Maududi, Abu Ala, Prinsip-Prinsip Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1975, [19]-Al-Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005, [20]-Said Agil Husin, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Jakarta: Paramadani, 2005, [21]-Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001, [22]-Rachman, Budhy Munawar, Islam & Pluralisme Nurcholish Madjid, Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007, [23]-Rahmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006, [24]-Roger, Ropiantinus, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia” http:Pluralisme Gus Dur  ( 01 Januari 2010), [25]-Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Al-Asbah Wa an-Nazhair, Malaysia: Penang, t.th.
Salim, Peter, dan Salim, Yani, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 1991, [26]-Sihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997, [27]-Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, [28]-Sumbulah, Umi, Islam Radikal dan Pluralisme Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama R.I, 2010.
Tobroni & Arifin, Syamsul, Islam: Pluralisme Buday dan Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagaman dan Pendidikan, Yogyakarta: Sipress, 1994, [29]-Thaha, Anis Malik, “Mencari Doktrin dan Ciri-ciri Faham Pluralisme Agama: Wacana Memberantas Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah” http://muafakatnyamalaysia.files.wordpress.com  (14 Desember 2010), [30]-Wahid, Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Dharma Bhakti, 1978, [31]-Wahid, Abdurrahman, “Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, majalah Prisma, no. Ekstra, Tahun XIII, 1984, [32]-Wahid, Abdurrahman, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas,” Pengantar untuk Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Masdar F. Mas’udi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, [33]-Wahid, Abdurrahman dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991, [34]-Wahid, Abdurrahman dkk, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, [35]-Wahid, Abdurrahman, Agama dan Demokrasi, Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994, [36]-Wahid, Abdurrahman, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994, [37]-Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000, [38]-Wahid, Abdurrahman, Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, [39]-Wahid, Abdurrahman, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006, [40]-Zainuddin, M, Normatif & Kesalehan Sosial, Malang: UIN Malang Press, 2007, [41]-Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada & Rajawali Press, 2009.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Hendra Gunawan, dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1987 di Singkuang Kecamatan Muara Batang Gadis dari pasangan suami isteri yang bernama Ipda Ali Usman Harahap (ayahanda) dan Hj. Zuhriannur (ibunda).
Penulis memulai pendidikan di SD 142708 di Singkuang dan tamat pada tahun 2000. setelah itu melanjutkan ke jenjang pendidikan MTS Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi dan tamat pada tahun 2004, selanjutnya penulis memasuki pendidikan MAS Musthafawiyah di lembaga pendidikan yang sama dan tamat pada tahun 2007. Kemudian penulis melanjutkan studi ke perguruan tinggi IAIN Sumatera Utara Medan pada Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah.
Pada masa menjadi mahasiswa, penulis mengikuti berbagai aktivitas kemahasiswaan/kepemudaan, antara lain pada tahun 2010, penulis diajak masuk organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Sampai akhirnya ”gelombang” mengempaskan penulis menjadi ketua Pimpinan Anak Cabang IPNU Kecamatan Medan Timur (PAC IPNU Medan Timur). Setelah itu menjabat sebagai Pengurus IPNU Kota Medan.
Demikian secara ringkas riwayat hidup penulis sampai menyelesaikan studi Fakultas Syari’ah sekarang ini.
Menyetujui
PEMBIMBING I                                                         PEMBIMBING II

Dr. H. M. Amar Adly, MA                                         Dr. Maradingin, MA
NIP. 19730705 200112 1 002                                    NIP. 19610412 199001 1 001
MENGETAHUI
KETUA JURUSAN JINAYAH SIYASAH

Dra. Achiriah, M.Hum
NIP. 19631010 199403 2 001

PENGESAHAN
Skripsi berjudul: LATAR BELAKANG PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PLURALISME. Telah dimunaqasyahkan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Medan, pada tanggal 13 Mei 2011.
Skripsi telah diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) dalam Ilmu Syari’ah pada Jurusan Jinayah Siyasah
Medan, 13 Mei 2011-Panitia Sidang Munaqasyah-Skripsi Fakultas Syari’ah-IAIN Sumatera Utara.
Ketua                                                               Sekretaris

Drs. Eldin H. Zainal, M.Ag                            Fatimah, S.Ag. MA.
NIP.19560612 198003 1 009                          NIP. 19710320 199703 2 003
Anggota-anggota

1. Dr. H. M. Amar Adly, MA                    2. Dr. Maradingin, MA
NIP.19730705 200112 1 002                     NIP.19610412 199001 1 001

3. Dr. Saidurrahman M.Ag                         4. Arifuddin Muda Harahap, SH,I M.Hum
NIP.19701204 199703 1 006                     NIP.19810828 200901 1 011

Mengetahui
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Sumatera Utara

Dr. H. M. Jamil, MA
NIP.19660910 199903 1 002





[1]Ropiantinus Roger, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia http: Plura lisme Gus Dur  ( 01 Januari 2010), t.h.
[2]Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Dilengkapi : Ejaan yang Disempurnakan dan Kosa Kata yang Baru (Surabaya: Kartika, 1997), h. 422.
[3]M. Zainuddin, Normatif & Kesalehan Sosial, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 53.
[4]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 363.
[5]Departemen Agama, Paham-Paham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2007), h. XXVIII.
[6]Anis Malik Thoha, “Mencari Doktrin dan Ciri-ciri Faham Pluralisme Agama: Wacana Memberantas Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah” http://muafakatnyamalaysia. files.wordpress.com  (14 Desember 2010), h. 7.
[7]Djohan Effendi, Pengantar untuk Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, oleh Budhy Munawar Rachman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. xxi.
[8]Sulidar, beliau memaparkan plural pada diskusi publik tentang Dilema Antara Kebebasan Beragama dan Harmonisasi Hubungan Umat Beragama: Potret Sumatera Utara, Medan, 28 Desember 2010, t. h.
[9]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 12.
[10]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 919.
[11]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. 111.
[12]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada & Rajawali Press, 2009), h. 13.
[13]Ihsan Ali & Fauzi, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia,  (Bandung: Mizan, 1998), h. 103.
[14]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama,  (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 121.
[15]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 33.
[16]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,  h. 30.
[17]Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 15.
[18]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 683.
[19]Abdurrahman Wahid, Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku, majalah Pelita Hati, h. 187, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 104.
[20]Ropiantinus, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia”, t.h.
[21]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 745.
[22]Ropiantinus, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia”, t.h.
[23]Muhammad Thahah Hasan, Ahlussunnah wal-Jama’ah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 291.
[24]Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2010), h. 6.
[25]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 326.
[26]HA. Malik Fadjar, “Peringatan Satu Abad: KH. Abdul Wahid Hasyim”, makalah disajikan pada Seminar Nasional KH. A. Wahid Hasyim: Pemikiran dan Pandangan Seputar Perguruan Tinggi Islam, Panitia kerjasama Pusat Satu Abad KH. Abdul Wahid Hasyim dengan Program Pascasarjana Universitas Medan Area, di Kampus II UMA Medan, 23 April 2011, h. 2.
[27]Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 132.
[28]Abdurrahman Wahid dkk, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 6.
[29]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme  Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 16-26.
[30]Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni dan Konflik” Harmoni: Jurnal Multi Kultural & Multireligius, Volume IX, Nomor 33, Januari-Maret (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan & Diklat Kementrian Agama R.I, 2010), h. 238.
[31]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Grafindo Persada & Murai & Kencana, 2002), h. 258.
[32]Ibid
[33]Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 154.
[34]Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni Dan Konflik”, h. 236.
[35]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 262.
[36]Ibid, h. 258.
[37]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 98.
[38]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 274.
[39]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 97.
[40]Abdurrahman Wahid, Menetapkan Pangkalan-Pangkalan Pendaratan Menuju Indonesia yang Dicita-citakan (Jakarta: Lappnas, 1980), h. 109, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 105.
[41]Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 551, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 103.
[42]Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni dan Konflik” h. 242.
[43]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 42-45.
[44]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 262.
[45]Ibid, h. 259.
[46]Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bhakti, 1978), t.h
[47]Abdurrahman Wahid dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), h. 205.
[48]Diana L. Eck, The Challenge of Pluralism, http://www.pluralism.org, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 73.
[49]Alwi Sihab, Islam Inklusif , Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), h. 41.
[50]ibid, h. 43.
[51]Budhy Munawar Rachman, Islam & Pluralisme Nurcholish Madjid (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 4 & 160.
[52]Nurcholish Madjid, Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Pramadani, 1998), h. 173-186. Lihat pula, Umi Sumbulah, Islam Radikal dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama R.I, 2010), hal. 49.
[53]M. Kamaluddin, makalah, disampaikan pada dialog sehari tentang “Pluralisme Agama di Indonesia” tanggal 10 Desember 1998. di hotel Emeral Garden Medan.
[54]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 12.
[55]Abdurrahman Wahid, Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku, majalah Pelita Hati, h. 187, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 104.
[56]Zulkarnaen, “Konsep Pluralisme Dalam Pemerintah Daerah Menurut al-Mawardi” (Laporan Penelitian, Puslit Fakultas Usuluddin IAIN-SU, Medan, 2005), h. 22.
[57]Ropiantinus Roger, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia http: Plura lisme Gus Dur  ( 01 Januari 2010), t.h.
[58]Ibid, t.h.
[59]Harman Tanjung, “Aliran-Aliran Sesat”, beliau menyampaikan pada khutbah Jum’at di Mesjid al-Bayan, Medan, 11 Februari 2011.
[60]Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2010), h. 39 & 68.
[61]Ibid, h. 56.
[62]Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h.142.
[63]Abu Hanifah, Toleransi dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial” http://www.google.com  (t.t, t.th). t.h.
[64]Ropiantinus Roger, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia http: Plura lisme Gus Dur  ( 01 Januari 2010), t.h.
[65]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 73-74.
[66]Ropiantinus Roger, “Gus Dur yang Pluralis dan Wacana Pluralisme Indonesia”, t.h
[67]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 120, 129 & 141.
[68]Pagar,  Pluralisme Gus Dur dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah disampaikan pada Acara Simposium Pluralisme Gus Dur dalam Perspektif Ahlussunnah wal-Jama’ah & Pelantikan Pengurus IPNU SUMUT, Panitia Pelaksana Kegiatan Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Sumatera Utara. Pada tanggal 22 Nopember 2010 M/1431 di hotel Wisata Indah Kota Sibolga, t.h.
[69]Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), h. 18-19.
[70]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. IX.
[71]M Zainuddin, Normatif & Kesalehan Sosial, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 42-43.
[72]Skularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (Sepilis),” Buletin Dakwah: al-Islam: HTI 543, 11Februari 2011, h. 2.
[73]Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2 & 3.
[74]Tobroni & Syamsul Arifin, Islam: Pluralisme Buday dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagaman dan Pendidikan, (Yogyakarta: Sipress, 1994), h. 1.
[75]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 76.
[76]Nurcholish Madjid, Wajah Liberal Islam di Indonesia : Pluralitas dan Hubungan antar Agama (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002), h. 140.
[77]Mariyam, “Konsep Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an” (Skripsi S.sos,I Fak. Usuluddin IAIN-SU, Medan, 2007), h. 83.
[78]Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 19 & 208-209.
[79]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 745.
[80]Ibid, h. 573.
[81]Ibid, h. 582.
[82]Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h. 210.
[83]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 67.
[84]Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h. 211.
[85]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), h. 170.
[86]Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik h. 212 & 213.
[87]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 142.
[88]Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologi dengan Pendekatan Tafsir Tematik h. 213 & 214.
[89]Budhy Munawar Rachman, Islam & Pluralisme Nurcholish Madjid, h. 153-154.
[90]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 63.
[91]Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 22.
[92]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 295.
[93]Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial (Jakarta: Paramadani, 2005), h. 60. lihat pula, Sayyid Qutub, Manhaj Hubungan Sosial Muslim Non Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 74.
[94]Zainul Kamal, Wajah Liberal Islam di Indonesia : Pluralitas dan Hubungan antar Agama, h. 152.
[95]Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia, h. 21.
[96]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 205.
[97]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1112.
[98]Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 51 & 114.
[99]Abu Ala al-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), h. 8-11.
[100]Muhammad Tholha Hasan, Ahlussunnah wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantaora Press, 2005), h. 339.
[101]Ihsan Ali & Fauzi, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 91 & 98.
[102]Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 90-91.
[103]Anis Malik Thoha, Mencermati Doktrin dan Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama: Wacana Membanteras Gerakan Pluralisme Agama dan Permutadan Ummahhttp://muafakat malaysia .files.wordpress.com  (14 Desember 2010).
[104]Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal 165.
[105]Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 129-140.
[106]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus BesarBahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,1988), h. 658.  
[107]TV ONE, “Apa Kabar Indonesia”, Pukul 22:20 8 Februari 2011.
[108]Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, h. 1-2 & 16.
[109]Abu hanifah, Toleransi dalam Masyarakat Plural: Memperkuat Ketahanan Sosialhttp://www.depsos.go.id (13 Januari 2011), h. 5 & 7.
[110]Departemen Agama, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007), h. 220.
[111]Abdurrahman Wahid, Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 56, dikutip oleh Yunasril Ali, “Di Sekitar Masalah Kebebasan Beragama di Indonesia,” makalah disajikan pada National Meeting Jaringan Islam Antar-kampus Untuk Islam dan Demokrasi, panitia Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, di hotel Prameshi, Gadog, Bogor, Minggu-Rabu, 19-22 Agustus 2007, h. 31.
[112]Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokrasi (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), h. 272, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 99.
[113]Abdurrahman Wahid, Ketidakrelaan Orang Yahudi dan Kristen, h. 227-228, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 105.
[114]Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, majalah Prisma, no. Ekstra, Tahun XIII, 1984, h. 6, dikutip oleh Achyat Asmu’ie, “Merumuskan Kembali Raison D ‘Etre Baru Spirit Persatuan Ummat di Tengah Inklusifisme dan Eksklusifisme Menuju Masyarakat Madani”, makalah disajikan pada National Meeting Jaringan Islam Antar-kampus Untuk Islam dan Demokrasi, h. 3 & 10.
[115]Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 545-552, dikutip oleh Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, h. 99 & 102.
[116]Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas,” Pengantar untuk Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, oleh Masdar F. Mas’udi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. xvi.
[117]Panataran Simajuntak, di sampaikan pada acara Dilog Pemantapan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama Melalui Saresehan dan Pelatihan Untuk Pluralitas dan Keberagaman dalam Hidup Berdampingan Secara Damai, dilaksanakan oleh LPNU (Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama) di Wisma PHI Medan, 19-20 Februari 2011, t.h.
[118]Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 137 & 139.
[119]Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni dan Konflik” Harmoni: Jurnal Multi Kultural & Multireligius, Volume IX, Nomor 33, Januari-Maret (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan & Diklat Kementrian Agama R.I, 2010), h. 237.
[120]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 42.
[121] Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, h. 151.
[122] Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni dan Konflik”, h. 233.
[123]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Grafindo Persada & Murai & Kencana, 2002), h. 267..
[124]Mark R. Woodword, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia h. 141.
[125]Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs,  (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2010), h. 1 & 98.
[126]M Zainuddin, Normatif & Kesalehan Sosial, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 63.
[127]Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asbah Wa an-Nazhair, (Malaysia: Penang, t.t), h. 134.
[128]Abdurrahman Wahid, “Presiden dan Agama”, majalah Kompas, 21 November 1998, dikutip oleh Luthfi Assyaukanie, Islam Negara & Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 257.
[129]Tobroni & Syamsul Arifin, Islam: Pluralisme Buday dan Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagaman dan Pendidikan, (Yogyakarta: Sipress, 1994), h. 1.
[130]M Zainuddin, Normatif & Kesalehan Sosial, h. 42-43.
[131]Mark R. Woodword, Jalan Baru Islam: Mematakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia h. 148.
[132]Ibid, h. 151.
[133]Demien Dematra, Sejuta Doa untuk Gus Dur,”  http://nasional.kompas.com  (8 Februari 2010), t. h.
[134]Abdurrahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. 22.
[135]John L. Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 258-259.
[136]Agus Mulyono, “Faham Keagamaan Antara Harmoni Dan Konflik”, h. 236-237.
[137]John L. Esposito, Esposito & John O. Voll, Tokoh: Kunci Gerakan Islam Kontemporer,h. 263.
[138]Ibid, h. 260.
[139]Panataran Simanjuntak, di sampaikan pada Pelaksanaan Konfrensi Pimpinan Cabang XI IPNU (Pc IPNU Kota Medan) Thema: Kita Wujudkan Pelajar yang Berkualitas, Berprestasi dan Mandiri, di Hotel el-Brubah Medan, 16 Januari 2011, t.h.
[140]Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), h. 508.

1 komentar:

  1. Kunjungi :
    http://www.sipatut.com/
    http://www.sipatut.com/the-lodge-maribaya/
    http://www.sipatut.com/gunung-gede-pangrango/
    http://www.sipatut.com/gunung-cikuray/
    http://www.sipatut.com/jonas-photo-ciwalk/

    BalasHapus

Cerpen

KISAH   PEMUDA SARJANA PENGGERAK PEMBANGUNAN PEDESAAN   DI PULAU SERAM AMBON Oleh Hendra Gunawan, MA           P ulau ...